Artikel Terbaru Lainnya :

JAKARTA–“Kini ada usaha kriminalisasi LGBTIQ lewat mekanisme Mahkamah Konstitusi. Saya berharap pemerintah Indonesia, termasuk Pak Menteri (Agama), mau melihat keadaan kami yang serba sulit, sering dipojokkan, dan mendukung pendidikan publik, agar mengerti dan mau menghentikan upaya diskriminasi terhadap kami.”
Demikian dikatakan Abhipraya Ardiansyah, peraih Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen AJI, beberapa waktu lalu (26/8/2016). Abhipraya Ardiansyah Muchtar dilahirkan sebagai perempuan, namun sejak awal merasa dirinya seorang pria. Dalam sambutannya, ia memaparkan bagaimana kaum LGBT di Indonesia yang selama ini tak mendapat perlindungan, kini makin terancam karena ada upaya sejumlah kalangan untuk mengkriminalisasi mereka.
Selain Abhipraya Ardiansyah, AJI juga memberi penghargaan kepada Kanza Vina, seorang transgender yang lahir sebagai lelaki dan merasa sebagai perempuan. Abhipraya Ardiansyah dan Kanza Vina mewakili Forum LGBTIQ Indonesia.
Penghargaan diberikan di tengah meningkatnya sentimen terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT di Indonesia, serta penolakan penyelesaian kasus 65.
Abhipraya mengatakan, penghargaan dari AJI memberikan harapan – sekaligus tantangan bagi jurnalis untuk menyajikan peliputan yang jernih terkait kelompok minoritas. “Penghargaan ini menghibur kami ketika minggu-minggu ini, kaum LGBTIQ, dibanjiri informasi, propaganda dan kecurigaan, lewat media sosial maupun media mainstream, yang berisi ketidaktahuan soal seksualitas dari individu-individu macam saya,” jelas dia.
Pemberian penghargaan yang juga sekaligus memperingati ulang tahun ke-22 AJI ini dihadiri oleh Menteri Agama Lukman Saifuddin yang malam itu menyampaikan orasi kebudayaan sebagai puncak acara. Dalam orasinya, Menag mengatakan, Indonesia merupakan bangsa yang becirikan kemajemukan dan keberagaman, namun belakangan didera berbagai ancaman dari kalangan yang hendak memaksakan keseragaman.
Tasrif merupakan seorang wartawan dan pengacara, yang membantu pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta 1971. Juri penghargaan Suardi Tasrif yang terdiri dari Nezar Patria (Dewan Pers), Ignatius Haryanto (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan /LSPP dan Luviana (penerima Tasrif Award 2013), mengatakan yang diperjuangkan kelompok dan komunitas ini merupakan reaksi karena negara diam dan tidak dapat memberikan perlindungan terhadap warganya.
AJI juga memberikan penghargaan kepada Kusnendar, salah satu korban peristiwa 65. Tahun lalu IPT menggelar people tribunal di Den Haag Belanda dengan menghadirkan para saksi dan korban peristiwa 65. Hasil keputusan final sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966.