Haji Zaman Jahiliah dan Tradisi Lumuri Kabah dengan Darah

Artikel Terbaru Lainnya :

Haji Zaman Jahiliah dan Tradisi Lumuri Kabah dengan Darah

Jauh sebelum Islam, Bangsa Arab sudah melakukan ritual haji.



Menjelang Zulhijah, jemaah haji mulai memadati Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi. Mereka bersiap melaksanakan tawaf, yang mesti dilakukan sebelum 8 Zulhijah. Di hadapan Kabah, rombongan jemaah haji Indonesia terlihat menonjol.
Berdasarkan data Sistem Komputerisasi dan Informasi Haji Terpadu. Sampai Kamis, 1 September 2016, sudah lebih dari 128 ribu jemaah berada di Mekah.
Tawaf menjadi awal rangkaian ibadah haji, yang secara berturut-turut diikuti dengan sai, kemudian wukuf di Arafah, dan melempar jumrah di Mina. Sebelum pulang, jemaah diwajibkan melakukan tawaf kembali. Ibadah ini menjadi semacam perpisahan antara jemaah dengan Kabah.
Namun, jauh sebelum Islam menjadikan haji sebagai rukun, Bangsa Arab sudah melakukan ritual ini. Dari segala penjuru mereka datang, India, Persia, Shabiah, bahkan Yahudi juga mendatangi Kabah .
Haji, kala itu juga dilakukan hanya di Zulhijah. Tapi dulu, mereka menyebutnya sebagai bulan-bulan haram, yaitu waktu haram untuk mengadakan peperangan di sekitar Tanah Suci. Masa haram itu adalah Zulhijah, bulan sebelum dan sesudahnya. Hikmahnya memberikan kelonggaran waktu bagi mereka yang tinggal jauh sehingga membutuhkan perjalanan panjang.
Pada musim haji, perniagaan menjadi ramai, karena tak hanya penduduk Mekah saja yang memenuhi kawasan sekitar Kabah. Mereka yang tinggal jauh pun berdatangan, seperti dari Yaman, pesisir Syam yaitu kawasan sekitar Suriah, Lebanon, dan Palestina. Sampai Najd, wilayah yang dikenal sebagai pusat kota Arab Saudi.
Saat itu, motivasi mereka ada yang datang ke Mekah beragam, ada yang sengaja datang untuk melaksanakan ibadah haji, tapi tak sedikit yang hadir menggelar dagangan, berbagi cerita tentang agamanya, sampai sekadar berbangga diri, pidato, atau melantunkan syair.
Penduduk Mekah ingin agar musim haji dan hari-hari pasar jatuh pada musim dingin, awal semi, dan akhir musim gugur. Sehingga mereka membuat sistem pengakhiran, dengan membuat penanggalan Qamariyah sesuai penanggalan Syamsiah. Qamariyah adalah sistem penanggalan berdasarkan hitungan rata-rata siklus sinodik bulan. Sedangkan Syamsiah, adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari.
Penanggalan ini dibuat karena penduduk Mekah mau musim haji terjadi pada waktu yang mereka inginkan, agar hasil tanaman sudah bisa dipanen sehingga mereka memiliki barang dagangan melimpah untuk dipasarkan. 
Tradisi Kurban
Setelah prosesi haji selesai, para jemaah pun menyembelih hewan kurban setelah melakukan manasik sebagai tanda syukur kepada Allah swt. Kegiatan ini dikenal dengan al-hadyu, derivasi dari kalimat al-ihda yang berarti hadiah. Sebab, kurban dianggap sebagai hadiah jemaah haji kepada Allah swt. atau ke Kabah.
Kurban merupakan kebiasaan lama yang telah dilakukan manusia dari setiap fase dan generasi. Namun, beberapa riwayat menyebutkan bahwa bangsa Arab Jahiliah merujuk kebiasaan ini pada Nabi Ibrahim as. saat diuji Allah swt. untuk menyembelih putranya, yang kemudian diganti dengan kambing. Sebagian lagi berpendapat kurban merupakan tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun oleh bangsa Arab. 
Selain itu, ada juga bangsa Arab yang menyembelih hewan kurban sebagai persembahan untuk berhala mereka di lembah Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Tradisi penyembelihan hewan kurban ini membantu suku Quraisy yang bertanggung jawab menjaga jemaah haji, karena jemaah fakir dapat makan dari hewan sembelihan itu.
Dulu, bangsa Arab sangat menghormati hewan yang dipersembahkan untuk Kabah. Hewan itu ditandai dengan kalung kulit atau dedaunan, agar dibiarkan bebas dan tak diganggu siapa pun. Sebab, hewan berkalung itu disucikan dan haram hukumnya diburu.
Setelah disembelih, jemaah pada zaman Jahiliah tidak memakan daging kurban mereka, tapi wajib memberikannya pada jemaah haji yang fakir. Selain itu, darah hewan kurbannya mereka pakai untuk melumuri Kabah. Perbuatan ini diyakini bisa mendekatkan diri pada Allah swt. 
(Sumber: Sejarah Ka'bah - Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman - Prof Dr Ali Husni al-Kharbuthli)

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !
Back to Top