"JUDULNYA KEARIFAN LOKAL" Tapi Perlakuan Beda Kalau Islam

Artikel Terbaru Lainnya :


"JUDULNYA KEARIFAN LOKAL"

Lain ladang lain belalang, lain lubuk laik ikannya
Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung

Kalau diringkas peribahasa ini bermakana, kearifan lokal. Kearifan lokal tidak bisa lepas dari mayoritas penganut agama tertentu di satu daerah. Kearifan lokal di Aceh beda dengan kearifan lokal di Bali. Intinya, gabungan agama dengan budaya lokal.

(I) BALI
Mayoritas penduduk Bali beragama Hindu. Jika ada penganut agama lain ingin membuat acara yang bersekala akbar, maka harus memijak bumi dan menjunjung langit Bali.

Demikianlah yang terjadi ketika panitia tabligh Bali Bershalawat di Jembrana menulis judul memakai kata Bali dan membuat logo Bali bershalawat dengan kaligrafi Arab, di tengah gambar pulau Bali.

Tentu saja warga Bali keberatan dengan judul acara wabil khusus lambang atau logo yang mengatas namakan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu. Terkesan seolah-olah seluruh pulau Bali bershalawat. Ya, semacam klaim religi pulau Bali oleh minoritas umat Islam.

Akun face Book dr.aryawedakarna menyebut terjadi kesepakatan antara panitia, tokoh-tokoh dan forum agama di Jembrana, dibantu TNI-Polri menghapus kata “Bali’ dan logo pulau Bali.

Karena diawali protes, rasanya kurang tepat disebut kesepakatan. Lebih tepat, panitia shalawatan setuju menghapus kata “Bali” dan logo di baliho dan brosur.

Tapi apa cuma soal lambang dan kearifan lokal? Ya, nggak juga. Ada suasana kebatinan yang tidak mencuat seperti terbaca dalam sejumah komentar di akun face book dr.aryawedakarna.

https://www.facebook.com/dr.aryawedakarna/photos/a.638417459572078.1073741828.612020942211730/1235189036561581/?type=3&pnref=story

Untuk acaranya sendiri tidak masalah, apalagi penceramah dan yang memimpin shawalat adalah Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya rahimakumullah , akrab dipanggil Habib Luthfi yang oleh sebagian kalangan disebut ulama NKRI.

Lalu bagaimana sikap pemerintah pusat? Seperti biasa, kalau untuk hal yang begini anteng-anteng saja. Begitu juga golongan sumbu pendek toleransi, sejuk sejuk saja. Kan ada pembenarnya, kearifan lokal.

(II) BANTEN
Soal lambang juga pernah heboh di Provinsi Banten. Masyarakat Banten yang mayoritas muslim bereaksi keras melihat lambang yang mirip salib di seragam pasukan Paskibaraka provinsi Banten. Atas laporan masyarakat, FPI provinisi Banten pada tanggal 23 Agustus 2016 mendatangi Dispora Banten.

Jujur saja ini bukan kesepakatan, tapi Dispora mengakui ada kelalaian dan setuju melucuti logo yang mirip salib di baju seragam pasukan Paskibraka.

Walaupun judulnya sama atas nama kearifan lokal, bagaimana sikap pemerintah pusat dan golongan sumbu pendek toleransi? Karena yang protes umat Islam dan yang maju terdepan adalah FPI, ya biasalah reaksinya, kaya nggak tahu saja.

(III) KASUS SAENI
Kearifan lokal warga Serang, Banten selama puluhan tahun bahkan lebih salah satunya adalah setiap bulan Rhamadan warung buka setengah hari, mulai sore sampai malam. Agar kearifan lokal itu punya kekuatan hukum, pada tahun 2010 Walikota Serang bersama seluruh alim ulama beserta MUI dan Kemenag Kota Serang (menandatangani) edaran imbauan keterkaitan kita menghormati umat beragama dengan siapa pun untuk saling menjaga bulan Ramadan.

Perda

bernomor 2 tahun 2010 bertajuk perda Penyakit Masyarakat dan Razia, diperkuat oleh Surat Edaran Wali Kota Serang tahun 2016 tentang Imbauan Bersama Menyambut Bulan Suci Ramadan. Salah satu fasalnya, rumah makan diperbolehkan buka pukul 16.00 WIB.

Bu Saeni pendatang dari Tegal yang punya usaha warteg di beberapa tempat mengabaikan perda dan edaran walikota itu. Satpol PP bertindak tegas menegakan perda dan keraifan lokal. Tapi rupanya dalam praktek razia dianggap satpol PP over acting.

Di media sosial golongan sumbu pendek toleransi kontan tersulut dan meledak. Karena mereka menguasai sebagian media mainstream, maka hebohlah. Apakah hanya satpol PP yang dikecam? Ternyata tidak. Persoalanya melebar pada soal ---apalagi kalau bukan – toleransi . Penghomratan bagi yang tidak berpuasa. Cukup puas sampai di situ? Tidak juga.

Salah satu akun “memprovokasi” walaupun bentuknya provokasi “hasanah” agar membantu Bu Saeni yang telah dizalimi oleh satpol PP. Sumbangan pun mengalir deras ke Bu Saeni mulai dari LSM sampai artis.

Bagaimana sikap pemerintah pusat? Kali ini pemerintah terkena provokasi “hasanah” media sosial. Presiden Jokowi menyumbang 10 juta rupiah. Mendagri konon kabarnya juga menyumbang, entah berapa. Walhasil, Bu Saeni untung besar. Kerugian yang ditaksir 600 ribu rupiah bukan hanya pulang modal tapi bisa buat modal bikin warteg lagi di tempat lain plus merenovasi rumah di kampung halamannya.

Soal kesalahan satpol PP yang katanya over acting itu, wajahnya dimuat di media sosial, dibuatkan meme ejekan yang bikin keluarganya makan hati. Tidak cukup puas sampai di situ. Terdengar kabar Mendagri akan mencabut perda nomor 10/2010 itu.

Tentu saja kehebohan itu menimbulkan reaksi keras masyarakat dan ulama Serang, dan Banten pada umumnya.

Saeni Banjir Bantuan, Ulama Kota Serang Tersinggung
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/14/058779708/saeni-banjir-bantuan-ulama-kota-serang-tersinggung

Belakangan, Mendagri melalui Pak Soni Sumarsono, Dirjen Otonomi Daerah ( sekarang PLT Gub DKI ) membantah soal pencabutan Perda. Mendagri hanya minta merevisi tiga pasal yang sarat melanggar HAM dan intoleransi.

Kasus Nenek Saeni, Kemendagri Usul Revisi Perda di Serang
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/06/14/o8rtav330-kasus-nenek-saeni-kemendagri-usul-revisi-perda-di-ser

Rupanya bukan hanya umat Islam warga Banten yang gerah melihat kelakuan sebagian media yang dinilai over acting. Lagi-lagi FPI mewakili keresahan itu dengan mendatangi Kompas minta klarifikasi perihal framing pemberitaan media itu terhadap kasus Bu Saeni. Walhasil, Kompas minta maaf

***

Nah, dari tiga pertistiwa berjudul "Kearifan Lokal" itu, maka nampaknya yang kita butuhkan bukan soal merajut Kebhinekaan yang secara umum tidak bermasalah. Tapi lebih pada pemahaman soal kearifan lokal

Merajut kebhinekaan adalah, “ Kitaaaa” “ Kitaaaa” sedangkan pemahaman keraifan lokal adalah, “Antara kitaaaa” “Antara kitaaaa”

Kalau "kita" disatukan oleh negara kesatuan Republik Indonesia, maka kearifan lokal adalah pengertian “antara kita.” Dan itu membutuhkan kedewasaan semua pihak. Itu!

02/01/2017

(Balya Nur)


Back to Top