Kisah Makam Seukuran Ubin & Pengakuan Seorang Gadis ABG Mualaf di Jerman

Artikel Terbaru Lainnya :


DITIB-Merkez-Moschee in Duisburg - Marxloh

Beberapa waktu yang lalu, kami membaca sebuah kisah yang ditulis salah seorang sahabat kami (muslimah) yang sedang belajar di kota Duisburg, Jerman.  Beliau menceritakan kisahnya ketika bertemu dengan … 

Beberapa waktu yang lalu, kami membaca sebuah kisah yang ditulis salah seorang sahabat kami (muslimah) yang sedang belajar di kota Duisburg, Jerman. Beliau menceritakan kisahnya ketika bertemu dengan salah seorang gadis remaja di Jerman selama bulan Ramadhan kemarin. Kisah yang membuat hati ini merinding karena gadis Jerman muallaf tersebut telah mengajarkan kepada kita bagaimanakah seharusnya bersikap dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Atas ijin sahabat kami tersebut, kami tulis ulang kisah ini dengan beberapa penyesuaian ejaan dan tanda baca tanpa mengubah makna. Selanjutnya, kami membahas beberapa faidah yang bisa kita ambil dari kisah tersebut.

Kisah Makam Seukuran Ubin dan Seorang Gadis ABG Mualaf di Jerman

Beberapa waktu yang lalu aku melewati pemakaman orang Jerman. Terlihat seperti taman bunga, dengan deretan bunga warna-warni kecuali ada nisan menyembul di sela-selanya. Tampaknya kebiasaan orang Jerman menanam bunga di atas makam. Kalau tidak langsung ditanam di atas tanah, kadang pot-pot bunga diletakkan di atasnya. Tapi bukan ini yang aneh.

Setelah melewati komplek pemakaman penuh bunga, aku melewati komplek pemakaman berbaris dan berderet yang masing-masing besarnya hanya seukuran ubin. Membuatku berpikir lama. Makam apakah ini? Mengapa kecil sekali? Makam binatangkah? Maklum, orang Jerman ini mencintai anjing sebagaimana mencintai anak.

Ternyata makam kecil ini adalah makam abu. Makam manusia yang dibakar dan abunya dikubur. Saking begitu atheisnya sebagian besar orang Jerman, mereka tidak percaya dengan kematian. Tidak pula percaya dengan kehidupan setelah kematian. Harga tanah untuk pemakaman sangat mahal dan biaya perawatan dan sewanya per tahun juga sangat mahal. Jadi, tidak jarang orang Jerman -sekalipun kaya- karena berpikir terlalu ‘realistis’, tidak sedikit pun takut kematian dan tidak ingin memberatkan orang yang masih hidup, mereka berwasiat dibakar saja. Kadang kalau ingin anonim atau tidak ingin memberatkan lagi, abunya diterbangkan saja di udara. Dan jika masih ingin dikenang tapi dengan sewa tanah murah cukup menyewa tanah pemakaman seukuran ubin. Dan itulah deretan makam yang kulihat saat itu.

Selanjutnya, aku melompat ke kisah pertemuanku dengan seorang muslimah Jerman (mualaf) yang masih muda. Dia masih SMU dan sebagaimana kebiasaan umumnya remaja Jerman saat puber, mereka mulai memisahkan diri tinggal dari ortunya. Biasanya mereka akan tinggal bersama pacarnya di apartemen. Dan muslimah mualaf ini pun mempunyai masa lalu seperti itu. Hingga dia memeluk Islam secara diam-diam, dan mencari Islam lewat internet dan kini dia tinggal seorang diri. Kadang sepekan sekali dia mengunjungi orang tuanya. Tetapi jika hendak memasuki rumah ortunya, dia akan tengok kanan kiri dulu hingga tidak ada orang, lalu di depan pintu dia melepas jilbabnya. Alasannya, karena ayahnya memiliki penyakit jantung dan selama ini ayahnya sangat membenci Islam. Jadi dia tidak ingin ayahnya kaget lalu memperparah sakitnya.

Perlu Anda ketahui, meskipun dia baru berjilbab saat awal ramadhan kemarin, tapi dari pertama aku bertemu dengannya saat ramadhan, kerudungnya menjuntai hingga selutut, dan dia menggunakan rok lebar berwarna gelap. Simpel dan polos. Inilah yang membuatku penasaran. Aku bertanya darimana dia mengetahui tentang jilbab hingga memutuskan berjilbab seperti ini.

Padahal menurut pengakuannya, sebelum masuk Islam dia senang menggunakan pakaian minim dan sexy. Dia menjawab, mengetahuinya dari internet. Rasa penasarannya terhadap Islam sangat kuat hingga dia mencari apa-apa dari internet karena memang dia tidak tahu ke mana dia harus bertanya. Lalu apa yang membuatnya berani berubah sedrastis ini? Dia menjawab: karena dia merenungi kematian. Dulu sebagaimana remaja yang lahir dan tumbuh di negara macam Jerman pada  umumnya, dia tidak percaya Tuhan hingga dia mulai berpikir tentang kematian.

“Mengapa kamu memilih Islam?”, tanyaku lagi semakin penasaran. Lalu dia bercerita bahwa sejak sekolah setingkat SD dia memiliki teman-teman muslim yang berkebangsaan Turki, karena bangsa Turki adalah komunitas muslim yang mendominasi Jerman. Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka hingga remaja yang menjalankan agamanya, tetapi orang tua mereka terkadang ada yang masih menjalankannya, meskipun ala kadarnya.

Saat berkunjung ke rumah teman-temannya yang muslim dan melihat orang tua mereka masih menjalankan syariat Islam, itulah yang membuat dia berpikir bahwa begitulah seharusnya orang menjalani hidup. Lalu entah bagaimana dia juga selalu merasa tenang setiap mendengar bacaan Al-Qur’an. Dari rasa penasarannya itu, tujuh tahun dia membaca-baca tentang Islam dari internet hingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam. “I feel like I am addicted to Islam”, begitulah pengakuannya.

Dia menunjukkan mobile phone-nya yang berisi list murotal Al-Qur’an. “Aku sudah mencoba mendengar semua reciter yang ada di sini, tapi aku paling suka yang ini,” katanya. Dia senang mendengar bacaan Al-Qur’an sehingga pernah aku menemuinya sedang mendengarkan murotal sambil jalan sebagaimana remaja-remaja seusianya mendengarkan musik, meski dia tidak mengetahui sedikit pun artinya. Jawabannya selalu sama, “I feel like I am addicted.”

Lalu beberapa waktu yang lalu tiba-tiba dia berkata padaku, “Aku akan segera menceritakan ke ayahku bahwa aku adalah muslim. Aku benar-benar ingin segera,” katanya. “Kenapa?” tanyaku penasaran karena baru beberapa hari yang lalu dia bercerita dia akan memberitahukan ke ayahnya pelan-pelan saja karena khawatir penyakit ayahnya semakin parah. Jawabannya itu yg akhirnya benar-benar membuatku merinding.

“Aku sangat menyayangi ayahku dan aku mendengar ayahku berwasiat jika dia meninggal dia ingin dibakar, dan aku tidak ingin itu. Aku harus membawakannya banyak buku-buku Islam dan aku akan memintanya mendengarkan Al-Qur’an agar dia masuk Islam dan aku menginginkannya segera, agar jika dia meninggal dia telah menjadi muslim dan dia tidak menginginkan dibakar lagi.”

Lalu dia melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku juga harus segera menulis surat wasiat. Usia manusia tidak ada yang tahu. Jika nanti meninggal, aku tidak ingin orang tuaku memakamkanku dengan prosesi pemakaman bukan Islam. Orang tuaku harus segera tahu bahwa aku muslim dan aku akan membuat wasiat dimakamkan harus secara muslim. Aku juga harus mulai menabung karena biayanya sangat besar, jika orang tuaku tidak setuju mereka tetap harus melaksanakan wasiatku karena prosesi itu semua akan menggunakan uang tabunganku sendiri, bukan uang mereka.”

Sebelumnya perlu saya sampaikan, bahwa dia ini muallaf, masih SMU, baru berjilbab awal ramadhan kemarin, dan dia dalam kondisi sehat wal afiat saat ini dan insya Allah tidak sedang sakit apa pun. Tapi itulah sedikit dari penuturannya yg membuatku terkesan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsuiBbPQy-m2WBaYx5f64_7G71iudEEL_cba46ZxUvpqxrueYjgJUk9yn-OvfgJCrkA7VcW8mhdI3NzzPyrxbHOehtA56QUz6kXfBFtFfOdlgwxjHiBFSIzWS01Q1bhRwNllQQ5XeuoFOd/s1600/143.jpg

Beberapa Faidah dari Kisah di Atas

Membaca cerita di atas, setidaknya ada beberapa faidah yang bisa kita ambil.
1- Keimanan terhadap hari akhir, pembeda seorang muslim dengan orang kafir
Di antara pokok keimanan yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir adalah keimanan terhadap hari akhir. Keimanan terhadap hari akhir meliputi keimanan terhadap fitnah qubur, hari kiamat, hari kebangkitan, surga dan neraka. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ السَّاعَةَ لَآَتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al-Mu’min [40]: 59)

Dari kisah di atas, sangat jelas terlihat bagaimana gambaran kehidupan seorang kafir yang tidak percaya terhadap adanya kehidupan setelah kematian. Mereka menganggap bahwa kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia semata, dan setelah itu mereka mati dan selesailah segala urusan, tidak ada pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kehidupan mereka hanya diisi dengan sibuk mengejar dunia dan segala kesenangan di dalamnya. Sebagaimana yang kami lihat sendiri, mayoritas hari-harinya diisi dengan bekerja dari pagi sampai malam; ketika akhir pekan tiba, saatnya untuk pesta sampai pagi, tidur panjang di siang harinya, atau rekreasi ke berbagai negara dan lain sebagainya.
2- Islam dan As-Sunnah, kenikmatan yang hakiki
Namun jangan dikira bahwa kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang menyenangkan. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan monoton, yang kosong tanpa isi. Oleh karena itu, seseorang masih berada dalam fitrahnya seperti gadis Jerman di atas, dia akan mudah melihat dan merasakan bahwa kehidupan seorang muslim yang hari-harinya diisi dengan beribadah kepada Allah Ta’ala, berdzikir dan membaca Al Qur’an, itulah kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan seperti inilah yang merupakan kenikmatan yang membahagiakan hati dan menentramkan jiwa-jiwa manusia.

Nikmat berjalan di atas Islam dan As-Sunnah inilah nikmat yang hakiki dan kita diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk terus mencarinya. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,Nikmat itu ada dua, nikmat muthlaqoh (mutlak) dan muqoyyadah (nisbi/relatif). Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Nikmat inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam doa kita agar Allah menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu padanya”. (Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 5)

Kenikmatan ini hanya Allah Ta’ala berikan khusus kepada hamba-hambaNya yang dicintai-Nya. Dengan nikmat inilah kita dapat meraih surga beserta segala kemewahan di dalamnya. Oleh karena itu, ketika shalat kita selalu berdoa,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (
7)
”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah [1]: 6-7)

Inilah nikmat yang hendaknya membuat hati kita bergembira dan berbahagia, melebihi berbagai nikmat duniawi yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah, ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” dalam ayat di atas adalah Al Qur’an, yang merupakan nikmat dan karunia Allah yang paling besar serta keutamaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari apa yang kita kumpulkan  berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. (Lihat Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 367)

Adapun nikmat berupa berupa harta dan kesenangan duniawi, maka inilah yang sifatnya nisbi (nikmat muqayyadah). Karena nikmat semacam ini juga Allah Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya yang kafir. Bisa jadi mereka lebih banyak hartanya dibandingkan kita. Mungkin pula kenikmatan berupa harta ini adalah bentuk istidroj (tipuan) dari Allah Ta’ala sehingga manusia semakin tersesat dan semakin menjauh dari jalan-Nya yang lurus. Atau bisa jadi merupakan bentuk ujian dari Allah kepada manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ …

“Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidroj …” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 413).

Marilah kita merenungkan firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44)
3- Nasihat terbaik itu adalah kematian
Sesuatu yang mencengangkan hati kita membaca kisah di atas bahwa mengingat kematian adalah faktor pendorong sampainya hidayah kepada gadis tersebut. “Kematian”, inilah penghancur kenikmatan yang mungkin susah payah kita raih selama hidup di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan.” (HR. An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits ini dinilai hasan shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Yang dimaksud dengan “pemutus kelezatan” dalam hadits di atas adalah kematian. Kematian disebut haadzim” (pemutus) karena menjadi sebab pemutus kelezatan dunia.

Betapa banyak di antara kita yang sering mengantar jenazah sampai ke pekuburan, namun hal itu tidak mampu menjadi nasihat untuk memperbaiki diri kita? Ya Allah, lindungilah kami dari jiwa-jiwa yang mati dan tidak bisa menerima nasihat! Kematian inilah yang seharusnya mengerem kita agar tidak tertipu dan terbuai dengan kehidupan dunia sebagaimana kisah di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه

Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian), karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang. Dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
4- Tidak mungkin berkumpul dalam satu jiwa: kecintaan terhadap musik dan kecintaan terhadap Al-Qur’an
Faidah berikutnya dari kisah di atas adalah bahwa kecintaan seseorang terhadap Al-Qur’an akan menyingkirkan kecintaan terhadap musik dan nyanyian. Sebaliknya, kecintaan seseorang terhadap musik dan nyanyian akan menyingkirkan kecintaan terhadap Al-Qur’an. Tidak mungkin kecintaan terhadap keduanya berkumpul dalam satu jiwa yang sama. Ketika hati gadis Jerman di atas mulai mencintai Al-Qur’an, maka hal itu mendorongnya untuk meninggalkan musik dan nyanyian. Berbeda dengan kebanyakan gadis ABG yang kita lihat, saking cintanya mereka terhadap musik dan nyanyian, sampai-sampai hapal puluhan nyanyian dengan begitu mudahnya, namun mereka sulit untuk diajak menghapal Al-Qur’an. Maka benarlah bahwa nyanyian merupakan salah satu cara setan untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman [31]: 6)

Tentang maksud dari firman Allah Ta’ala “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, (yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’) adalah  nyanyian”. Beliau mengulangi sumpahnya tersebut sampai tiga kali. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ma’khul, Amr bin Syu’aib, dan Ali bin Badzimah radhiyallahu ‘anhum. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 6/330-331)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada pendidik anak-anaknya. Beliau rahimahullah berkata, ”Hendaklah yang mereka ketahui pertama kali dari pengajaranmu adalah rasa benci terhadap alat-alat musik. Karena hal itu berawal dari setan dan mendatangkan kebencian dari Ar-Rahman. Sungguh telah sampai kepadaku dari orang-orang terpercaya yang berilmu, bahwa menghadiri tempat musik dan mendengarkan nyanyian akan menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam  dada sebagaimana air menumbuhkan rerumputan”. (Ighatsatul Lahfan, 1/250)
5- Dakwah kepada orang tua dan keluarga terdekat
Nasihat penting dari kisah di atas adalah hendaknya kita tidak melupakan dakwah kepada orang tua kita. Mungkin di antara kita ada yang begitu bersemangat untuk berdakwah kepada teman atau masyarakat luas pada umumnya, namun justru merupakan orang tuanya sendiri. Kita biarkan orang tua kita masih tenggelam dalam kebodohan terhadap ilmu agama, terjerumus dalam berbagai macam kemusyrikan atau kebid’ahan. Padahal, bagaimana mungkin kita melupakan dakwah kepada orang tua, sedangkan Allah Ta’ala memerintahkan,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 214)

Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau berdakwah kepada bapaknya sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al-Qur’an,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45)

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?  Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan”. (QS. Maryam [19]: 41-45)

Begitu pula dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdakwah kepada paman-pamannya. Di antaranya, ketika pamannya Abu Thalib hendak meninggal dunia, Rasulullah mendatanginya untuk mendakwahinya agar masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya,

يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, kisah di atas menjadi nasihat berharga agar kita tidak melupakan dakwah kepada orang tua dan keluarga kita yang lainnya.

Demikianlah beberapa faidah yang dapat kami kumpulkan dari kisah di atas. Semoga Allah Ta’ala melembutkan hati kita untuk mudah menerima nasihat dan kebenaran dari siapa pun orangnya.


Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.







Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya  @Tahukah.Anda.News

republished by Ayo Jalan Terus! -  Suarakan Fakta dan Kebenaran ! 



Back to Top