Margono Djojohadikusumo, Kakek Prabowo Sang Ekonom Patriot πŸ’ͺπŸ˜‰πŸ’ͺ

Artikel Terbaru Lainnya :

  Ayo  Jalan Terus  -  KETIKA 8 Oktober 1949 Douwes Dekker berulang tahun ke 70 Sukarno yang lagi dalam pengungsian ibukota republik di Jogja mengirim ucapan selamat untuk pendiri Indische Partij itu.

“Atas nama bangsa saya nyatakan terimakasih atas apa yang Anda lakukan dengan tidak mengkhianati cita-cita kita. Atas pengorbanan selama ini, pada diri Anda kami melihat dan menyambut sosok Bapak Nasionalisme Politik Indonesia…”

Demikian gelar tersebut diberikan Sukarno kepada salah satu tokoh pergerakan yang sangat dihormatinya. Presiden pertama RI ini kemudian memberikan nama penghormatan “Danudirja Setiabudi” kepada orang Belanda berdarah Jerman, kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, 1879 itu, karena jasanya ikut meletakkan dasar Indonesia merdeka.
Danudirja Setiabudi berarti: berjiwa kuat & tangguh, dan berbudi setia.
Douwes Dekker adalah teman baik Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo Subianto.
Mereka pernah dimasukkan ke penjara Wirogunan, Jogjakarta, oleh tentara Belanda.
Margono Djojohadikusumo  adalah  ahli ekonomi dan —seperti telah banyak diketahui— merupakan pendiri Bank Negara Indonesia 1946.

Pada 23 Desember ‘48 Margono dibawa ke markas tentara Belanda.
Belanda minta dibukakan lemari besi yang ada di gedung Bank Negara, ingin mengetahui berapa jumlah devisa Republik dan di mana disimpan.
Margono diinterogasi selama berjam-jam.
“Dimana devisa luar negeri Republik?” Belanda membentak dengan todongan pistol.
Dan dalam bahasa Belanda yang baik, Margono menjawab:
“Ik kan U niet alles vertellen. Het is het geheim van de smid” (Saya tidak dapat menceritakan kepada Anda. Itu semua rahasia tukang besi).
Belanda mengamuk. Margono dimasukkan ke dalam sel.
Suatu hari Margono digiring ke luar sel dan dibawa ke Bank Negara.  Di situ Belanda merampok habis berkarung-karung ORI alias Oeang Repoeblik Indonesia bernilai jutaan rupiah, berkodi-kodi batik, barang perak dari Pasar Gede, perhiasan, gelang emas, semuanya milik para nasabah bank, berbungkah-bungkah emas dari tambang emas Cilotok. Semua itu diangkut Belanda dengan sebuah truk, entah dibawa  kemana.

Saking brutal aksi tersebut, Margono berkata:
“Een rampok partij in optima forma”, pesta rampok yang terencana.
Desember ‘48 Margono dibebaskan tapi dikenai tahanan kota. Baru pada pertengahan ‘49 setelah Persetujuan Roem-Roijen ditandatangani Margono bisa pindah ke Jakarta.
Maestro wartawan Indonesia Rosihan Anwar, di dalam bukunya Musim Berganti, Catatan Sejarah Indonesia 1925-1950, menulis, beberapa bulan kemudian Margono bergabung dengan delegasi Republik di Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Selain ahli ekonomi Margono ternyata memiliki kemampuan sebagai diplomat.
Dari Margono kisah bergeser kepada sosok AA Maramis. Ahli ekonomi lulusan sekolah hukum Leiden, Belanda.
Ia Menteri Keuangan pertama RI, yang saat Pemerintahan Darurat  Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Syafrudin Prawiranegara dibentuk di Padang, Maramis yang lagi di India, oleh Bung Hatta disuruh mimpin pemerintahan darurat RI di pengasingan (government in exile) kalau PDRI jatuh ke tangan Belanda.
Alexander Andries (AA) Maramis penandatangan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), bersama Margono Djojohadikusumo ia duduk sebagai anggota badan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Patriotisme terhadap tanah air dan bangsa selalu dibutuhkan.
Namun tragis-ironis hari ini kita punya ekonom yang oleh lembaga-lembaga asing dipuji sebagai menteri keuangan terbaik tapi di tangannya perekonomian negeri ini  malah terpuruk dan makin suram.

Sri Mulyani seperti pejabat bumiputera di zaman kolonial  mabuk hadiah dan puji-pujian karena menyukseskan Tanam Paksa. Praktek penindasan perekonomian yang menyengsarakan rakyat yang menghasilkan keuntungan besar bagi kolonial.
Rizal Ramli, mahasiswa fisika, terbit niatnya untuk belajar ekonomi waktu meringkuk di penjara rezim otoriter. Hingga menjadi ekonom terkemuka karena keberpihakannya kepada kepentingan rakyat.
Ada yang bilang Rizal saat ini bagaikan The Last Man Still Standing, laki-laki terakhir yang masih tetap berdiri menyuarakan kebenaran dan mengingatkan melencengnya jalan perekonomian nasional yang neoliberal, memihak kepentingan asing dan asing.
Rizal misalnya pernah membentak dan mengusir petinggi Freeport-McMoran, James Moffett, yang mencoba menyogoknya. Ketika itu Rizal Menko Perekonomian di pemerintahan Gus Dur. Ia menentang impor pangan yang dilakukan secara ugal-ugalan yang memburu rente. Mengubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara, menolak reklamasi pantai Jakarta yang penuh kecurangan. Ia mencoba mewujudkan cita-cita Tri Sakti Sukarno, tapi malah dicopot Jokowi dari kabinet, lantaran Jokowi ditekan oleh para taipan dan penguasa merangkap pengusaha (pengpeng).
Tentang jalan ekonomi neoliberalisme yang selalu ditentangnya, Bung Hatta sendiri dalam pertemuan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), tahun 1979, mengatakan:
“Praktek perekonomian di bawah pengaruh tekhnokrat kita sekarang menyimpang…ekonomi liberalisme dipakai sebagai pedoman” (kl/rmol)




Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya  @Tahukah.Anda.News

republished by AYO JALAN TERUS -  Suarakan Fakta dan Kebenaran ! 



Back to Top