Dulu, Sekarang dan yang Akan Datang Sama Saja Selama Mindset Tak Berubah

Artikel Terbaru Lainnya :

[ TahukahAnda.info ]  Oleh: Dr. Zainuddin, SE, M. Si.

 Hidup akan terus berputar, dimana aka ada yang lahir dan ada yang mati begitu terus terjadi selama masih dunia ini belum dipunahkan oleh zat yang Maha Kuasa. Tak terkecuali era kepemimpinan suatu bangsa atau daerah akan terus berganti untuk periode-periode yang telah disepakati.



Pada tataran kepemimpinan negara atau daerah ada yang menarik untuk kita cermati. Dimana, semua calon pemimpin selalu mengungkapkan jargon yang sama setiap kali berhadapan dengan rakyatnya sebagai calon pemilih, dan jargon itu adalah “saya akan menciptakan kemakmuran kepada seluruh rakyat dan membasmi para pencuri uang rakyat”.

Saat jargon itu terucap sang rakyat jelata terbangkit rasa yakin penuh harap untuk dapat membawanya hidup menanjak keluar dari kungkungan kemiskinan, atas keinginannya merasakan hawa kemakmuran kadang-kadang rakyat rela berdiri berjam-jam hanya untuk mendengar pidato manis yang terucap dari calon pemimpinnya sambil sesekali bertepuk tangan dan tersenyum karena mereka beranggapan tak lama lagi mereka akan merasakan indahnya hidup dalam suasana kemakmuran, dan bagi muslimin sangking harapan bahagia yang memuncak terucap kalimat-kalimat tayyibah atau takbir sebagai rasa syukurnya atas pemberi  harapan masa depan buat mereka. Dan rakyat dengan penuh gembira menyukseskan hajatan penentuan pemimpin mereka dengan ikut member vote pada pemilihan atau pemilu.

Suksesi telah melahirkan mereka, baik untuk tingkat negara, provinsi dan kabupaten (pemimpin yang dimaksud yang lahir dari hasil pemilu).

Pemimpin mereka walau berbeda level tetap saja jargonnya sama yaitu akan memakmurkan rakyat dan membasmi koprupsi, rakyat yang tadi berbeda karena berbeda dukungan kadang masih terbawa hingga sudah ditetapkan pemimpin dengan berbagai argumentasi dan itu hal biasa dalam sebuah demokrasi.

Begitu pula rakyat bisa melihat para calon pemimpin yang tadinya berbeda kubu sudah saling berangkulan dan memberi selamat kepada yang terpilih, dan ini seperti sandiwara saja yang tadinya saling mengklaim dan menghujat tiba-tiba sangat mesra dan lagi-lagi rakyat memakluminya karena begitulah berdemokrasi yang benar.

Pada saat itu pemimpin terpilih sudah mulai dikelilingi oleh teman setia dan bahkan teman baru berpura-pura setia dengan harapan diajak dalam lingkaran kekuasaan, dan pada saat itu mulailah rakyat sedikit bertanda tanya dan malah ada yang sudah langsung muncul keraguan tentang konsistensi dari pemimpin itu sendiri walaupun masih disimpan dihatinya belum diungkapkan terutama rakyat pendukung.

Begitu acara pelantikan rakyat sebagai pendukung secara khusus maupun rakyat pada umumnya mulailah nampak jelas sekali batasan dan dilupakan karana rakyat sudah ditempatkan sebagai rakyat jelata yang tidak ada  lagi akses apapun dan kebutuhannya sudah selesai hanya hingga memberi suara saja, lagi-lagi rakyat memakluminya karena mereka sadar tidak mungkin dihadiri pelantikan dan syukuran mewah disebabkan mereka belum mewah dan belum harum badannya karena belum makmur.

Sudah terlihat para pemimpin dikelilingi oleh keluarga besar, sanak suadara dan kolega masing-masing, padahal yang mengantar mereka menjadi pemimpin bukanlah mereka suadara dan koleganya melainkan rakyat, tetapi lagi-lagi rakyat tidak peduli biarkan saja yang penting janjinya tentang menciptakan kemakmuran dan membasmi korupsi bakal segera diwujudkan.

Rupanya rakyat tidak marah jika para pemimpin berpesta dengan keluarga, saudara dan koleganya karena bagi mereka logikanya jalan, dan hanya ingin jargon yang membahana yang diungkapan saat pemilu itu terwujud itu saja.

Selanjutnya, kepemimpinan berjalan mulailah banyak rakyat bertanya-tanya dan malah dari kalangan pendukung fanatik, karena dilihatnya arah dan fenomena-fenomena sudah keluar jalur menuju kemakmuran dan jauh dari kata-kata pembasmian korupsi, soalnya kok muncul korupsi baru dalam lingkaran penyelenggaraan kekuasaan.

Sudah mulai ada ungkapan rakyat ya rakyat harus terima kodratnya, maksudnya kodrat hidup miskin dan malah ada yang berkata suara yang rakyat berikan kan sudah kami kasih pemberian pada saat kampanye, ini terbukti adanya calon pemimpin yang meminta kembali pemberian (jika bisa dikatakan suap begitu) yang tidak terpilih pada masyarakat.

Jauh dari kata makmur untuk rakyat karena cara berpikir para calon pemimpin adalah targetnya suara diberikan dengan berbagai cara janji-janji sebagai daya tarik agar rakyat senang dan bila perlu suap atau politik uang dan begitu terpilih rakyat sudah tidak diperlukan lagi, dan sekarang masanya untuk pemuasan diri dengan dikelilingi oleh yang mampu memberi keuntungan baginya.

Selama tidak menguntungkan dan apalagi coba-coba memberi nasehat lewat kritikan akan dibungkam dan bila perlu dimusuhi agar cara dan polanya tidak terusik.

Rakyat miskin tetaplah miskin tak berubah, jika pun ada senyum pada masa kampanye karena didatangi para calon dengan berpura-pura  santun dan penyayang dengan membawa sedikit oleh-oleh dan ajakan ngopi bareng tiap saat di warung kopi (itu kalau di Aceh), setelah terpilih mereka tak peduli lagi dan ini dinamai pola dagang berkarakter rendah.

Pola berdagang berkarakter rendah adalah pola yang penting profit tinggi tidak peduli service paska penjualan, tidak peduli kualitas produknya dapat memuaskan konsumennya, dan bahkan tak peduli sama sekali dengan konsumennya.

Hakikatnya, mereka akan mendatangi konsumen pada saat tertentu dengan konsep bujuk rayu dan janji manis agar barangnya dibeli atau diminati setelah itu mereka pergi dengan girangnya karena sudah berhasil dan akan kembali lagi pada periode akan datang dengan strategi sama dan dipoles lagi agar yakin lagi, terus begitu-dan begitu yang dilakukan karena memang pedagang itu tujuannya cari utung.

Seperti halnya para pemimpin jika tujuannya mencalonkan diri untuk mencari penghasilan, penghormatan, kedudukan maka tak jauh beda dengan pedagang berkarakter rendah, dan akan dengan mudahnya melupakan janji-janjinya karena rakyat hanya dijadikan sebagai konsumen dan setelah berhasil meyakinkan konsumen ya pergi dan nikmati hasilnya.

Jika pun ada yang kembali kepada rakyat setelah menjadi pemimpin itu tidak datang dari nuansa tunai janji, karena datang kepada pribadi-pribadi rakyat itu juga termasuk sikap tidak baik bagi pemimpin.

Harapan dari pemimpin sebenarnya bukan memuaskan rakyat secara pribadi dan kelompok melainkan harus ada program-program penunaian janji secara makro, artinya pemimpin harus mampu melakukan atau membuat program dalam rangka tunai janji untuk seluruh rakyat bukan person per person.

Jadi pemimpin yang benar bukan hanya memuaskan timsesnya, dimana akan direkrut seluruh timses untuk ditempatkan sebagai pelaksana programnya dan bila perlu singkirkan yang bukan timses, akan tetapi begitu terpilih harus ada pada diri pemimpin itu satu nilai yaitu yang bersangkutan adalah pemimpin untuk seluruh rakyat, dan komitmen pada janji-janji yang pernah diungkapkan.

Bagaimana mindset baru harus dibangun oleh para pemimpin agar negeri ini tidak terperosok lebih dalam kedalam jurang.

Menurut saya (sumbang pikir sebagai rakyat), yaitu pera pemimpin harus mampu menghayati bahwa Anda sebagai pemimpin rakyat secara umum agar kokoh pada pendirian dan memiliki tanggung jawab yang besar pada yang dipimpin.

Apabila pemimpin tidak mampu mengenali dirinya sebagai pemimpin maka dalam perjalanannya akan ada orang-orang yang lebih utama dari pada dia sendiri, malah terlihat oleh rakyat pemimpin itu sendiri harus tunduk pada orang tersebut.

Kemudian, pemimpin harus diniatkan sebagai ladang pengabdian secara total dan dengan pengabdian secara total sebenarnya akan diikuti juga tentang kepuasan diri berupa pendapatan, kedudukan, penghormatan.

Apabila merebut kepemimpinan dengan niat optimal profit, maka akan menyebabkan terperangkap pada yang namanya korupsi karena energi dari pemimpin itu sendiri akan habis bagaimana caranya agar sumber daya yang dimiliki bangsa atau daerah bisa dia kuasai bisa melalui cara-cara KKN.

Selanjutnya, selalu memiliki narasi ilmiah sebagai dasar tindakan dan program untuk menunaikan janji, maknanya setiap tindakan harus ada naskah akademik yang dapat mendukung agar programnya terlaksana dan tercapai sasara.

Seorang pemimpin kiranya pada jaman sekarang jangan pernah melakukan kegiatan coba-coba apa kata nafsu tetapi setia tindakan harus dengan hitung-hitungan akademik agar tidak lahir kesia-siaan. Dan pemimpin yang lahir dari suara rakyat harus berbuat dan bila perlu hibahkan diri Anda kepada rakyat secara umum, baru kemudian semua janji kepada rakyat bisa dijalankan.

Merubah suatu kebiasaan apalagi sudah mendarah daging bukan perkara mudah, namun tidak boleh kita berputus asa kearah itu, karena bila kita hidup dengan cara dan pola yang sama secara terus menerus dan pola dan cara itu tidak melahirkan suatu kemakmuran maka  segenap energi kita harus  merubahnya.

Bagi masyarakat sudah waktunya vote diberikan bukan karena pemberian (suap) tetapi berdasarkan analisis terhadap yang dipilih itu bisa terpancar cahaya yang memberikan kenyataan yang lebih baik dimasa datang alias bukan tukang bohong.

Demikian, sekelumit pikiran dari penulis untuk bagaimana cara mencapai tujuan publik dengan merubah sedikit saja mindset dari para pemimpin agar pendakian kita menuju puncak dapat terwujud. (*)


(Penulis Adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Serambi Mekah (USM) Aceh, Putra Pidie Jaya)





Back to Top