Fakta Apa yang "Sangat Mengerikan" untuk diketahui ?

Artikel Terbaru Lainnya :

[ TahukahAnda.info ]  Tanggal 4 Januari 2019, datang sebuah koper besar seberat 18 kg ke kantor saya. Pengirimnya Balai Besar Karantina Pertanian Bandara Soekarno-Hatta. Meminta jasa identifikasi sampel, katanya.
Saya dan kawan saya, serta seorang peneliti senior biosistematika mamalia ditugaskan untuk melakukan identifikasi. Kami bawa koper tersebut ke laboratorium. Kami kenakan jas lab, sarung tangan lateks, dan masker.
Kemudian, kami buka koper tersebut. Isinya tulang belulang! Terpotong-potong tidak beraturan dalam ukuran sekitar 10 cm dengan jumlah tidak kurang dari 2000 pcs!


Ceritanya, koper tersebut milik seorang pria keturunan Tionghoa yang akan dibawa melalui pesawat komersil ke Tiongkok. Ketika melewati mesin x-ray, petugas curiga dan menginterogasi pria tersebut. Berdasarkan pengakuan si pria, dia tidak mengetahui isi koper tersebut, tidak tahu siapa pengirimnya, dan tidak tahu kepada siapa koper tersebut akan diserahkan. Dia mengaku hanya kurir yang dibayar untuk mengantarkan koper oleh seseorang yang tidak dikenal ke suatu tempat yang dia sendiri tidak tahu siapa penerimanya kelak.

Dengan kondisi yang berantakan seperti itu, kami diminta untuk mengidentifikasi spesies apa dan berasal dari berapa individu potongan-potongan tulang tersebut. Semua harus kami lakukan dalam waktu maksimal dua minggu karena tulang tersebut adalah barang bukti yang akan segera digunakan untuk proses peradilan tersangka. Selama sampel diidentifikasi, tersangka dipulangkan untuk menjadi tahanan rumah, katanya.
Mengetahui spesies apa bisa dikerjakan dengan analisis molekuler dari sampel, tapi menentukan berasal dari berapa individu berarti harus menyusun dan mencocokkan ribuan potong tulang se-random itu satu per satu. Bisa dibilang, pekerjaan yang mustahil untuk diselesaikan dalam dua minggu.
Akhirnya, kami putuskan untuk memilah tulang tengkorak sebagai dasar penentuan jumlah individu minimal. Tulang tengkorak dapat disusun dengan cepat karena bentuknya yang khas dan pasti berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Selain itu, kami juga mengumpulkan potongan gigi untuk diidentifikasi.
Setelah kami coba susun dan kelompokkan, tulang-tulang tengkorak tersebut berasal dari setidaknya 8 individu dengan ukuran sedang dan bentuk yang serupa: memiliki rahang dengan lubang gigi taring yang besar. Bentuk ini adalah ciri ordo karnivora, sehingga kami lakukan pencocokan dengan spesimen tengkorak-tengkorak karnivora di laboratorium.
Spesimen tengkorak karnivora yang dijadikan rujukan. Dari kiri atas: singa (Panthera leo), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), anjing domestik (Canis familiaris), dan ajag (Cuon alpinus javanicus).
Ternyata, tulang-tulang tengkorak tersebut terkonfirmasi berasal dari spesies Panthera tigris sumatrae! 8 ekor harimau Sumatera, dengan ukuran yang belum dewasa, mati dengan kondisi tulang tercacah untuk dikirim ke Tiongkok! What the
Beberapa potongan tulang tengkorak dari bagian rahang bawah, pipi, dan hidung yang secara bentuk sesuai dengan rujukan tengkorak harimau Sumatera.
Itu hanya dari tengkoraknya saja. Jika ditelusuri dari semua potongan tulang yang ada, kami yakin jumlahnya jauh lebih banyak dari itu.
Setelahnya, kami juga lakukan analisis molekuler terhadap tulang-tulang lain yang secara bentuk terlihat berbeda. Analisis PCR dilakukan menggunakan penanda gen cytochrome-b dari DNA mitokondrial sepanjang 450 pasangbasa, kemudian dilanjutkan dengan sequencing DNA untuk dicocokkan dengan database.
Ternyata, selain berasal dari harimau, tulang belulang tersebut juga berasal dari spesies kukang Jawa (Nycticebus javanicus), kukang Sumatera (Nycticebus coucang), dan siamang (Symphalangus syndactylus) yang kami tidak ketahui pasti berapa total individunya. Belasan ekor, perkiraan kami.
Setelah hasil keluar, segera kami laporkan kepada penyidik dari Balai Karantina. Lucunya, saat rumah tersangka didatangi, ternyata rumahnya kosong dan tidak ada yang tahu dia pergi kemana. Ckckck….

Ya, saya tahu, ini memang bukan cerita mengerikan seperti kisah makhluk halus.
Tapi, ketika kita sadar bahwa sumber daya hayati kita setiap hari semakin berada di ambang kepunahan, bagi saya itu sangat mengerikan.
Kisah saya hanya sebagian kecil dari aktivitas yang berjalan setiap hari di alam Indonesia. Bahkan, ketika tulisan ini dibuat, mungkin beberapa spesies satwa baru saja terjerat perangkap atau tertembak senapan pemburu di hutan sana.
Orang-orang awam mungkin berpikir, bahwa ketika suatu spesies satwa sudah masuk dalam daftar yang dilindungi undang-undang maka statusnya aman.
Tidak. Sama sekali tidak seperti itu.
Perburuan satwa liar akan terus berjalan selama permintaan terus ada. Pun dilindungi undang-undang, sudah rahasia umum bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan di ranah ini termasuk yang lemah dan minim sorotan.
Untuk harimau Sumatera saja, populasinya di alam kini tidak lebih dari 600 ekor. Sementara, sepanjang 2018 saja tercatat 613 kasus perburuan[1]Itu baru yang tercatat, yang tidak?
Oleh karena itu, saya ingin mengajak kita semua agar tidak menjadi bagian dari rusaknya alam Indonesia.
Berhenti percaya mitos pengobatan menggunakan satwa liar.
Berhenti memelihara satwa liar sebagai hewan kesayangan, khususnya yang dilindungi. Apalagi menjadikannya konten media sosial untuk pamer.
Berhenti melakukan aktivitas apapun yang meningkatkan permintaan pasar terhadap satwa liar dari alam.
Ingat, tidak ada permintaan = tidak ada perburuan.
Saya bukan social justice warrior atau aktivis ekstrem konservasi. Saya hanya ingin mengingatkan, satwa liar tidak butuh manusia. Kitalah, manusia, yang membutuhkan keberadaan mereka. Jika mereka punah, kita yang menanggung konsekuensinya.
Lindungi alam dan satwa liar kita. Anda bangga sebagai warga negara Indonesia karena kekayaan alamnya kan? Kalau sudah habis, apa yang mau kita semua banggakan dari Indonesia nantinya?
Catatan Kaki






📢 Republished by [Tahukah Anda ?]  

https://id.quora.com/Fakta-apa-yang-terlalu-mengerikan-untuk-diketahui






Back to Top