KPK : Proyek Pelatihan Rp5,6 T Kartu Prakerja Dihentikan Dulu, 89% Materi Kursus Tersedia Gratis

Artikel Terbaru Lainnya :

[ TahukahAnda.info ]  KPK Minta Kartu Prakerja Dihentikan Dulu, 89% Materi Kursus Tersedia Gratis di Internet





KPK Minta Kartu Prakerja Dihentikan Dulu

89% Materi Kursus Tersedia Gratis di Internet

Program kartu prakerja benar-benar merembet ke ranah hukum. Kemarin (18/6/2020) KPK meminta program tersebut dihentian sementara. Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan gelombang I hingga III yang terlanjur bergulir.


Hal itu merujuk hasil kajian KPK yang dilakukan selama tiga pekan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pihaknya mengidentifikasi sejumlah persoalan dalam empat aspek terkait pelaksanaan prakerja.




Empat aspek dimaksud adalah proses pendaftaran, kemitraan dengan platform digital, materi pelatihan dan pelaksanaan program.

Terkait proses pendaftaran, Alex menyebutkan, sejatinya ada 1,7 juta pekerja yang terkena PHK. Data itu berasal dari Kemenaker dan BPJAMSOSTEK. Dari jumlah pekerja terdampak itu, hanya 143 ribu yang mendaftar prakerja. Sebaliknya, 9,4 juta pendaftar hingga gelombang ketiga dinilai bukan target yang disasar program prakerja. Dengan demikian, penggunaan fitur face recognition senilai Rp 39,8 Miliar untuk kepentingan pengenalan peserta dalam proses pendaftaran itu menjadi tidak efisien. "Penggunaan NIK dan keanggotaan BPJAMSOSTEK sudah memadai," paparnya.

Terkait kemitraan platform digital, KPK mengidentifikasi kerja sama dengan 8 platform digital (Ruangguru cs) tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa (PBJ). Penetapan platform digital sebagai mitra resmi pemerintah yang dilakukan Komite Cipta Kerja pada 9 Maret 2020 itu juga tidak sesuai pasal 35 dan 47 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020. Sebab, penetapan dilakukan sebelum manajemen pelaksana terbentuk.

KPK juga mengidentifikasi adanya konflik kepentingan pada 5 platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan (LPP). Itu mengingat sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan adalah milik LPP yang memiliki konflik kepentingan dengan platform digital.

Menurut Alex, platform digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan LPP.

"Dengan demikian, 250 pelatihan yang terindikasi (konflik kepentingan) harus dihentikan," tuturnya.

KPK juga merekomendasikan Komite Cipta Kerja agar meminta legal opinion dari Jamdatun Kejaksaaan Agung tentang kerja sama dengan delapan platform digital itu. "Apakah (delapan platform digital) itu termasuk dalam cakupan PBJ pemerintah?" imbuh dia.

KPK juga menyoroti materi pelatihan yang tidak dilakukan dengan kompetensi memadai. Bahkan, pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring, hanya 24% dari 1.895 peatihan. Juga, hanya 55% dari 457 pelatihan yang dapat diberikan secara daring. Bukan hanya itu, dari 327 sampel pelatihan, ditemukan 89% (291) tersedia secara gratis di internet.

(Sumber: Koran Jawa Pos, Jumat 19 Juni 2020)



GAMBLANG... Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !!





Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !! 


SEJAK AWAL, argumen saya tidak goyang. Masalah utama Kartu Prakerja adalah pada kegiatan jual beli video pelatihan Rp5,6 triliun yang berpotensi korupsi—termasuk dugaan konflik kepentingan dan merugikan keuangan negara.


Akarnya adalah Perpres 36/2020 tentang Kartu Prakerja yang menempatkan platform digital dalam posisi ‘dominan’ (mitra resmi, kurator, penandatangan perjanjian kerja sama, bahkan dalam pelaksanaan menjadi lembaga penyedia pelatihan juga).

Begitulah juga yang disampaikan oleh KPK sebagai hasil kajian dan rekomendasi, kemarin, Kamis (18/6/2020).

Sementara itu Manajemen Pelaksana mengonfirmasi kemungkinan besar Perpres Kartu Prakerja dan peraturan turunannya seperti Permenko Perekonomian 3/2020 akan direvisi.

Beberapa pihak terlihat kecewa, mengapa KPK tidak melakukan penindakan malahan pencegahan (rekomendasi)?

Orang boleh berbeda pendapat tapi saya termasuk yang tidak kecewa. Mengapa?

Hasil kajian dan rekomendasi KPK itu bermakna penting jika niat kita memang menyelamatkan keuangan negara, bukan karena kita ingin jabatan politik, kue proyek, atau cari pamor. Apalagi rekomendasi KPK berbeda bumi dan langit jika dibandingkan dengan saran dan pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang tergesa mengatakan tidak ada indikasi pelanggaran hukum dalam kemitraan dengan platform digital tanpa melalui penyelidikan terlebih dahulu.

Masyarakat bisa membedakan sendiri ‘keberpihakan’ dan ‘mutu’ kedua lembaga itu. Bisa jadi, menurut saya, perlu ditelusuri ada apa sebenarnya di balik pendapat KPPU itu? Lobi semacam apa yang berlangsung di antara para komisionernya dan pihak-pihak luar?

Sah-sah saja masyarakat menduga-duga. Apalagi KPPU punya sejarah buruk ketika komisionernya terbukti disuap Rp500 juta oleh seorang eksekutif perusahaan Grup Lippo berkaitan dengan kasus Astro. Pemberi dan penerima suap divonis 3-4 tahun penjara. Kasus itu ditangani KPK pada 2009.

Saya juga mengapresiasi pengakuan pihak platform digital (Skill Academy, Pintaria, Sekolahmu dkk) yang menyebutkan belum ada sepeser pun pembayaran dari pemerintah. Poin positifnya adalah Rp5,6 triliun masih aman di rekening negara. Belum mengalir sampai jauh...

Tapi KPK yang dulu berbeda dengan sekarang. Yang sekarang tidak ada taji. Gampang ‘masuk angin’. Tahu dari mana? Memang KPK yang dulu seperti apa? Apa batu uji yang dipakai untuk mengukur?

Saya termasuk wartawan generasi awal di Seputar Monas yang menjadi saksi sejarah berjalannya lembaga ini. Mulai dari masih berupa kertas undang-undang, berkantor di Veteran, menangani kasus awal (korupsi helikopter Aceh, KPU), pergantian pimpinan berjilid-jilid, membeli alat sadap, penangkapan penyidik KPK yang minta uang kepada saksi/tersangka, pelaksanaan OTT yang berhasil dan gagal, mengincar pemain kakap, polemik cicak-buaya, hingga yang sekarang ramai kasus Novel Baswedan dan Harun Masiku... Bahkan saya pelapor untuk kasus Hambalang dan Prakerja. Sementara untuk kasus suap Bank Indonesia, saya yang menulis di koran pertama kali.

Intinya begini. KPK isinya adalah manusia (ada polisi, jaksa, auditor dll)—tidak 100% benar, tidak 100% salah. Tapi bagaimana pun martabat suatu lembaga tetap harus dijaga. Ini berlaku juga untuk semua lembaga negara (Mabes Polri, Kejaksaan, DPR, Presiden dll). Yang kita kejar adalah (oknum) pelaku, yang tentunya otomatis merusak nama lembaga karena perilaku kotornya.

Pembuktian secara fakta hukum juga butuh proses dan tidak mudah. Apalagi pada kasus sensitif yang melibatkan aktor politik dan persinggungan dengan penegak hukum lain. Apa yang seringkali dipertanyakan “mengapa tidak menyentuh pemain kakapnya” memerlukan lebih banyak upaya lagi untuk menjawabnya—meskipun kita masih bisa berdebat apa dan siapa itu pemain kakap.

Tapi saya pikir menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi adalah awal yang bagus (tentu paham kan kekuatan ybs dan jaringan lobinya) untuk KPK jilid ini. Begitu juga mendalami korupsi Jiwasraya dengan memeriksa Bentjok dkk (siapa yang tidak tahu Thanos di bursa ini) adalah gebrakan baru.

Pada kepemimpinan jilid-jilid sebelumnya juga ada momen emasnya masing-masing: menindak advokat senior OCK dan Lucas, besan presiden aktif, ketua umum partai berkuasa (Anas Urbaningrum), ketua KPU, dll. Kepolisian dan Kejaksaan pun ada momentum dan legacy-nya masing-masing dan kita perlu angkat topi.

Bagaimana dengan kasus Novel Baswedan dan Harun Masiku? Tentu saja kekerasan yang dialami Novel patut diperhatikan. Dinamika tentu ada dalam proses hukum. Tapi membuktikan adanya dugaan ‘permainan’ hukum tidak mudah. Kita tidak bisa asal bersuara tanpa dasar dan bukti. Kalau bilang pengadilannya sudah diatur, kita harus membuktikan itu—meskipun harus diakui ini kasus penting bagi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kalau Harun Masiku, menurut saya masih proses teknis saja. Kelak akan ditangkap juga. Tinggal tunggu waktu. Mungkin perlu ‘pembicaraan tingkat atas’ dulu sebelum dieksekusi. Tunggu saja.

Kritik saya terhadap Kartu Prakerja pada dasarnya merangkum apa yang saya alami selama bertahun-tahun ke belakang dalam dunia skandal di negara ini. Bahwa penting bagi kita semua untuk memurnikan lagi tujuan untuk apa mendorong pemberantasan korupsi.

Kalau saya menganggap hal itu bukan main-main—apalagi sekadar cari follower medsos!

👉Pemberantasan korupsi tidak boleh jadi alat untuk meraih ambisi politik, merusak dan mencaci orang per orang, menarik lembaga donor, menerima upeti dari kanan/kiri untuk kepentingan pribadi, menghancurkan lawan bisnis, mengadu domba antarlembaga/institusi...

Kritik kita sebagai masyarakat pun jangan hanya dilakukan atas dasar emosi dan hasutan. Harus jernih dan konsisten. Tidak perlu mengikuti buzzer-buzzer yang kadang menjadikan suatu isu/perkara sebagai lahan berisik untuk mendapatkan uang/jabatan—saya tahu dunia-dunia begitu ada tarif dan model bisnisnya sendiri, orang-orangnya pun sebagian saya tahu.

Saya hormat pada semua lembaga negara/lembaga pemerintah di negara ini. Saya respek pada pejabat yang serius menjalankan wewenang dan tidak korupsi. Kepada semua penegak hukum (Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, Ketua KPK, pimpinan organisasi advokat dll), saya juga menghargai posisi dan tugas masing-masing. Itu clear.

👉Makanya, ketika soal Prakerja sudah sampai pada tahap seperti sekarang, ketika pemahaman dari berbagai sudut pandang kelembagaan sudah terungkap dan suara publik jelas tercermin dari berbagai media massa, sekarang waktu yang terbaik bagi Presiden Jokowi untuk memimpin lagi: merevisi Perpres Kartu Prakerja, memerintahkan dibentuknya format pelatihan yang lebih baik dan tidak berpotensi korupsi, mendistribusikan bantuan/insentif bagi pekerja/pengangguran terdampak korona sesegera mungkin.

Milenial-milenial pebisnis digital sebaiknya juga memahami situasi ini dengan baik—jauhi bermain politik—dan tidak memaksakan ‘monetisasi’ program negara dalam Kartu Prakerja. Risiko hukumnya besar. Dan itu akan membakar semua yang sudah kalian rintis selama ini.

Salam 5,6 Triliun.

(By Agustinus Edy Kristianto)

*sumber: fb


📢 Republished by [Tahukah Anda ?]  




Back to Top