Mewaspadai Balkanisasi Nusantara Melalui Pintu Sentimen Agama

Artikel Terbaru Lainnya :

 Balkanisasi itu istilah geopolitik. Menurut wikipedia, ia merupakan proses fragmentasi atau pembagian sebuah negara menjadi beberapa negara kecil yang kerap tidak kooperatif antara satu dan lainnya. Balkanisasi dianggap peyoratif (pemburukan makna) dari proses perpecahan negara besar menjadi negara kecil-kecil.

Populernya istilah tersebut, erat-kaitannya dengan terpecahnya Semenanjung Balkan, Eropa Timur, khususnya Yugoslavia pada awal 1990-an. Menurut Azyumardi Azra, balkanisasi muncul dari arus demokratisasi yang tidak hanya mengakhiri rezim komunisme, tetapi sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme yang tumpang tindih antara etnisitas dan agama. Balkanisasi kemudian menjadi istilah guna menyebut kebangkitan etno-nasionalisme yang mencabik negara yang terdiri atas kelompok etnis dan agama.

Pakar lainnya menyebut, balkanisasi sebagai etno-tribalisme yaitu perpaduan antara etnisitas dengan sektarianisme antaragama yang menyala-nyala serta membakar konflik dengan cepat.


Balkanisasi di Yugoslavia membidani tujuh negara kecil antara lain yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia Hercegovina, Slovenia, Macedonia, Montenegro dan Kosovo. Itulah sekilas narasi soal balkanisasi.
Pertanyaan selidik muncul, bagaimana rumor “balkanisasi nusantara” yang konon telah menjadi isu geopolitik di Indonesia?

Ya. Ada beberapa tahapan atau fase sehingga ia menjadi isu geopolitik, antara lain:

Fase Pertama: balkanisasi nusantara sebagai rumor, sayup terdengar pada awal reformasi 1998 – 1999. Kenapa? Selain faktor kebhinekaan yang relatif lestari di Indonesia, juga usai Orde Baru lengser, rakyat cenderung euphoria menikmati kebebasan setelah 30-an tahun hidup dalam cengkeraman orde otoritarianisme. Sudah barang tentu, euphoria kondisi dan masa transisi ini mengandung bahkan dapat mengundang arus balkanisasi seperti halnya di Eropa Timur dulu. Namun syukurlah, Indonesia tak hanya selamat dari gelombang balkanisasi, tetapi juga mampu melewati masa kritis dan transisi menuju alam demokrasi dengan kondisi tetap utuh (NKRI).

Fase Kedua: balkanisasi mulai menjadi bahan pembicaraan di ruang tertutup dan bersifat elitis. Tak kurang pada dekade 2000-an di UGM, Jogjakarta, beberapa tokoh dan sesepuh (tak perlu disebut orangnya siapa) membahas pandangan Wolfowitz ke Habibie tentang Indonesia pecah menjadi 7-8 negara. Memang tidak ada solusi dalam diskusi di UGM tadi melainkan hanya catatan kecil sebagai pointers. Antara lain poinnya adalah sebagai berikut:

1) bahwa senjata jarak jauh negeri tetangga telah ada pembagian dan mengarah kepada kota-kota besar di Indonesia, selain belasan pangkalan militer asing telah mengepung Indonesia;

2) seandainya pecah pun, tidak usah sampai menjadi 7-8 negara, terbelah jadi tiga negara saja pasti berantakan. Mengapa? Selain ALKI dan ZEE bakal kacau, Indonesia juga berubah menjadi perairan bebas dimana kapal-kapal asing hilir mudik sesuka hati;

Fase Ketiga: isu balkanisasi nusantara semakin menguat di ranah akademis karena selaras dengan alur pikir dan/atau isu di era globalisasi bahwa negara bangsa (nation state) seperti Indonesia, contohnya, sudah tidak cocok lagi dan harus diganti dengan bentuk lain berupa negara suku (ethnic state), atau negara kepentingan (corporate state) dan bahkan negara agama (religius state). Jika merujuk alur (pikir) di atas, lepasnya Timor Timur dinilai wajar dan sah-sah saja, tidak dianggap sebagai bencana geopolitik/kedaulatan. Gendeng. Termasuk bila nanti terjadi pemisahan lagi atau lepasnya beberapa wilayah lain. Pertanyaan selidik muncul: “Apakah alur pikir dan isu di atas sekedar konsekuensi globalisasi, atau ia merupakan subversi senyap yang disahkan kepentingan asing di Bumi Pertiwi?”

Hingga hari ini, balkanisasi nusantara tetap sebagai isu elitis —konsumsi elit politik— karenanya kurang membumi di akar rumput meskipun sebenarnya telah berkali-kali dicoba di pinggiran nusantara tetapi selalu gagal dan gagal. Trial and error. Peristiwa Ambon, misalnya, atau konflik Dayak-Madura, ataupun isu Tolikara ialah try out balkanisasi berbekal isu sektarian guna mengeksploitasi kebencian atas keragaman SARA dan perbedaan afiliasi politik. Termasuk isu OPM di Papua sejatinya merupakan protokol balkanisasi;

Fase Keempat: tampaknya si peremot balkanisasi menyadari, bahwa konflik bermenu (isu) sektarian yang selama ini mereka jalankan, tak mampu membesarkan kerusuhan dan tak bisa meluaskan konflik hingga berskala nasional. Konflik yang di-endorse tetap berskala lokal, kedaerahan dan sporadis;

Fase Kelima: memasuki abad ke-21, si peremot balkanisasi nusantara mulai membaca fenomena, bahwa konflik bermenu (isu) sektarian yang mengeksploitasi kebencian atas keanekaan SARA dan perbedaan afiliasi politik memang mudah dibakar di satu sisi, tetapi skalanya lokal pada sisi lain. Hanya sporadis dan bersifat kedaerahan.

Konflik sektarian sulit meluas dan tidak mampu berkembang hingga skala nasional. Kenapa? Mungkin karena faktor kemajemukan, heterogenitas serta kebhinekaan. Jadi, tergembosi secara alamiah.

Tatkala 2016 terjadi Aksi 212 di Monas, Jakarta, bergema hingga ke berbagai belahan dunia akibat besarnya jumlah massa namun tertib dan berjalan damai. Hampir tidak ada sampah dan rumput terinjak. Di sini, si peremot mulai menyadari bahwa isu sentimen (agama) lebih efektif untuk mengobarkan emosi warga serta menggerakkan massa dalam jumlah signifikan ketimbang isu-isu sebelumnya termasuk isu sektarian.

Dalam sejarah konflik, sektarian dianggap menu (isu) terlezat guna memantik konflik-konflik terutama di Timur Tengah sebab warganya cenderung satu ras, satu bangsa. Homogen. Konflik antara syi’ah – sunni, contohnya, atau benturan antarfaksi dalam negara dan lain-lain.

Kembali ke isu sentimen. Sungguh unik, pengobaran massa bermenu sentimen sepertinya tanpa perlu biaya besar bagi para penggeraknya, cukup ditabur narasi kebencian oleh masing-masing buzzer (piaraan), publik pun gemuruh. Gaduh. Bahkan uniknya, pihak massa justru membiayai sendiri hampir di semua pergerakannya. Dan Aksi 212 adalah bukti faktual pembiayaan mandiri oleh massa aksi.

Ya. Penistaan agama sebagai isu yang diusung dalam Aksi 212, ibarat ruh gerakan serta epicentrum yang menyatukan semangat massa dari berbagai aliran agama, sehingga gemanya menggelegar dahsyat di awal abad ke-21. Inilah yang kini tengah berlangsung. Isu sektarian dan isu-isu lainnya tergantikan dan/atau telah diganti dengan isu sentimen (agama) yang hampir menggejala dalam setiap aksi massa dan konflik-konflik di daerah.

Balik lagi ke balkanisasi. Ia adalah konflik horizontal. Konflik antara (sesama) warga dan kelompok/golongan dalam negara berbasis etnisitas dan agama. Sekali lagi, Azyumardi menyebut etno-nasionalis, semangat nasionalisme tumpang tindih antara etnis dan agama. Pakar lainnya menyebut etno-tribalisme. Perpaduan antara etnisitas dan sektarianisme antaragama yang cepat menyala dalam kobaran konflik.

Dan hari ini, agaknya isu sentimen mendominasi pada setiap aksi massa di daerah yang dipicu oleh kejadian di Tol Cikampek.

Pertanyaan menarik menyeruak, “Jika si peremot mengadopsi Yugoslavia, lazimnya balkanisasi nusantara itu bersifat (konflik) horizontal, kenapa kini embrionya cenderung vertikal?”

Jangan terpancing Ibu Pertiwi. Kendati ghost fleet (armada hantu) kian mendekat, waspadai false flag operation sebagai pintu amuk massa yang dipicu oleh si peremot. Yakinlah armada hantu akan kembali menjauh jika di republik ini masih kental rasa persatuan dan kesatuan. Silahkan saudara-saudara memilih mana.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.. (sumber: GFI)

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Back to Top