Sriwijaya Air SJ-182: Menukik, Melonjak, lalu Mengempas

Artikel Terbaru Lainnya :

 Menukik, Melonjak, lalu Mengempas


Sriwijaya Air PK-CLC tercatat menghunjam laut dari ketinggian 10.900 kaki dalam waktu 25 detik.

- Pesawat maskapai Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak jatuh di perairan sekitar Kepulauan Seribu, Sabtu lalu.
- Menurut pengamat penerbangan Gema Goeyardi, pesawat hanya membutuhkan waktu 25 detik untuk menghempas ke permukaan air dari ketinggian 10.900 kaki.
- Kejadian pesawat Sriwijaya mirip dengan kecelakaan Air Asia QZ-8501 pada akhir 2014 karena sama-sama jatuh dengan kecepatan tinggi.


JAKARTA -- Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Sabtu siang lalu. Menurut pengamat penerbangan dari 14 Day Pilot Flight Academy, Gema Goeyardi, pesawat menyentuh perairan secara sangat cepat.

Dia memperkirakan pesawat nahas itu menukik dari ketinggian 10.900 kaki--setara 3.322 meter--permukaan laut hanya dalam waktu 25 detik. "Pesawat nyungsep vertikal begini," ujar Gema sambil memperagakan gerakan tangan yang menurun. Hasil pengamatannya ditayangkan secara virtual, kemarin. 

Pesawat Sriwijaya SJ-182 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada Sabtu lalu, pukul 14.36 WIB. Empat menit kemudian, Air Traffic Controller(ATC) Perum Airnav Indonesia menyatakan pesawat berjenis Boeing 737-500 itu hilang dari radar. 

Menurut pengamatan Gema, musibah ini mirip dengan kecelakaan pesawat Air Asia QZ-8501 pada akhir 2014 karena sama-sama jatuh dengan sangat cepat. Data situs pemantauan penerbangan Flightradar24.com yang dia amati menunjukkan bahwa pesawat anjlok dengan kecepatan vertikal minus 4.544 ke minus 30,7 ribu feet per minute (FPM). Kejadian tersebut diperkirakan berlangsung pada pukul 14.40 detik kedelapan hingga detik ke-16. Kecepatan vertikal menandai kecepatan naik pesawat. Angka minus menunjukkan pesawat sedang menukik. 

Gema mengatakan, dalam kasus Air Asia, penurunan kecepatan vertikal yang sangat cepat dan mendadak membuat seluruh penumpang tewas seketika. "Jadi, saat nyungsep di kecepatan minus 30.720 FPM, diperkirakan penumpangnya (pesawat Sriwijaya) sudah gone," kata dia. 
Pesawat Lain Go-Round Saat Musibah SJ 182

Bayu Sutrisno, 27 tahun, bergidik ngeri mengenang pengalaman terbang dari Denpasar ke Jakarta pada Sabtu siang lalu. Ia menceritakan bagaimana Garuda GA 409 yang dia tumpangi terperangkap cuaca buruk sebelum mendarat pada saat yang sangat berdekatan dengan momen Sriwijaya Air SJ 182 hilang kontak pada Sabtu lalu pukul 14.40.

Kepada Tempo, Bayu menuturkan bahwa saat itu pesawat yang ditumpanginya bertolak dari Bali sekitar pukul 12.55 WIT. Mereka baru bisa mendarat di Cengkareng sekitar pukul 14.36 WIB atau mundur sekitar 1,5 jam dari jadwal karena sempat mengalami turbulensi selama sekitar 30 menit akibat cuaca buruk di atas langit Jakarta.

Pesawat yang ditumpangi Bayu itu mendarat sekitar empat menit sebelum Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak hilang kontak di atas perairan Kepulauan Seribu. "Saat pesawat saya landing di Cengkareng, hujan masih sangat deras. Makanya, saya kaget juga saat itu masih ada yang berani terbang," kata Bayu, kemarin.

Menurut dia, sepanjang perjalanan dari Denpasar, cuaca lumayan buruk. Pesawatnya mengalami turbulensi berkali-kali. Bayu sampai kehilangan hitungan akibat saking seringnya guncangan terjadi. Turbulensi makin menjadi-jadi saat monitor penerbangan menunjukkan posisi pesawat berada di langit Jakarta.

Dari jendela, head of marketing di Titipbeliin.com itu melihat awan-awan hitam bergumpal. Di atas Baywalk Mall, Pluit, Jakarta Utara, Bayu menyaksikan petir menyambar berkali-kali. Pria yang berkantor di Bali dan sedang balik liburan ke Yogyakarta itu masih sempat mengabadikan tebalnya awan saat itu dari kamera seluler yang dimatikan sinyalnya.

Sekitar pukul 14.10 WIB, Bayu mendengar pilot mengumumkan pesawat akan mendarat. "Saya sempat merasakan ban pesawat sudah dibuka dan siap turun, tapi tiba-tiba terjadi go-round (membatalkan proses landing)," ujarnya.

Keputusan pilot membatalkan pendaratan ini membuat semua penumpang—separuh lebih warga mancanegara—Garuda itu mulai ketakutan. "Saya merasakan pesawat langsung naik kembali begitu cepat," kata Bayu. "Pemandangan di luar semua putih. Tidak tampak apa-apa." Manuver pesawat itu menimbulkan turbulensi yang cukup kencang. Namun tidak ada pengumuman apa pun dari cabin crew saat itu.

Seperti penumpang lain, Bayu hanya bisa berdoa. Jantungnya berdegup keras. Penumpang saling menatap tanpa kata-kata. Saat pesawat menanjak itu, kembali terjadi guncangan hebat. "Turbulensi terkencang yang pernah saya rasakan," kata dia.

Bayu menjalani 30 menit yang paling terasa panjang selama hidupnya. "Saya sudah pasrah kalau pesawat yang saya tumpangi jatuh," ujar dia. Untuk menghindari teror kesunyian kabin, Bayu kembali mengenakan headphone-nya untuk menenangkan batin.

Sekitar lima menit sebelum landing di Bandara Soekarno-Hatta, pilot menyatakan agar penumpang tidak khawatir. Pilot menyatakan pesawat sudah mulai siap mendarat.

Bayu sebenarnya memesan penerbangan rute Denpasar-Yogya. Namun Garuda mengubah rutenya menjadi transit di Jakarta dengan alasan ada kendala teknis.

Penerbangan di langit Jakarta itu membuat Bayu trauma. Ia sempat mau keluar dari bandara dan pulang ke Yogya lewat jalur darat. Namun bagasinya sudah disiapkan di penerbangan lanjutan. Bayu pun terbang menuju Yogyakarta International Airport (YIA) pada pukul 15.40 WIB atau satu jam setelah Sriwijaya SJ 182 dinyatakan hilang. "Turbulensi menuju Yogya saat itu sangat luar biasa," kata dia.

Bayu baru mengetahui soal musibah SJ 182 saat tiba di Yogyakarta. "Jika saya tahu soal musibah itu di Soekarno-Hatta, tentu saya cancel penerbangan ke Yogya," ujarnya.

(Sumber: Koran TEMPO, Senin, 11 Januari 2021)
Back to Top