Teringat Nasib Tragis Partai Islam Masyumi, Terbesar se Nusantara Kala itu

Artikel Terbaru Lainnya :

 Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dengan segala aktivitasnya mau tidak mau mengingatkan pada sebuah zaman ketika suasana genting demokrasi Indonesia di tahun 1960-an.

Kala itu, di tengah suasana rezim yang berjargon ‘demokrasi ‘ terpimpin setidaknya ada dua pembubaran organisasi yang penting. Keduanya adalah Partai Masyumi selaku pemenang kedua Pemilu 1955 dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipimpin ‘Bung Kecil’ yang mantan perdana menteri pertama RI, Sutan Syahrir.

Pegiat sejarah dari komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Beggy Rizkiyansyah menceritakan kisah pedih itu pada bukunya yang berjudul ‘Kata Sebagai Senjata’.



Dalam tulisan itu dia mengisahkan dengan menelusuri berbagai arsip dan dokumen suasana negara yang kala itu sangat tegang. Terjadi persaingan politik yang panas untuk memperbutkan pengaruh di kekuasaan. Pertarungan kala itu klasik yakni antara kubu prokomunis dan anti komunis.

Masyumi selaku partai kedua pemenang pemilu 1955 yang paling mendapat deraan. Pertarungan antara Masyumi selaku kubu utama anti komunis dan PKI ini seolah tak berujung.



Tapi palu godam nasib Masyumi akhirnya mulai terasa  kala dikeluarkannya  keputusan pemerintah untuk menyederhanakan sistem kepartaian lewat Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959.

Di antara butir-butir Penpres tersebut adalah, pertama, tuntutan bagi partai untuk mencantumkan dengan tegas bahwa organisasi tersebut menerima dan mempertahankan UUD Negara RI yang memuat dasar-dasar negara serta Manifesto Politik Presiden 17 Agustus 1959.

Kedua, organisasi-organisasi lain yang mendukung dan/atau bernaung di bawah partainya tersebut , dicantumkan dalam anggaran dasar. Ketiga, partai dituntut untuk menggunakan jalan-jalan demokratis dan damai dalam memperjuangkan tujuannya.



Keempat, mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I di seluruh wilayah Indonesia.

Satu poin penting tampak sekali diarahkan kepada kubu utama anti komunis yakni Masyumi dan PSI, yaitu terdapat pasal 9 dari Pepres itu. Aturannya begini: Presiden, setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang “sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”



Pada 12 Juli 1960, Masyumi menanggapi Penpres tersebut dengan mengatakan bahwa UU kepartaian harusnya dibuat secara objektif. Sebaliknya, tuntutan mengenai pemberontakan (PRRI), menurut Masyumi mereka telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan pada 24 Januari, 13 dan 17 Februari 1958. Dari pernyataan tersebut, menurut Masyumi tergambar sikap mereka yang berusaha bersama pemerintah agar peristiwa pemberontakan itu jangan sampai terjadi.

Di akhir pernyataannya, Masyumi kemudian menyindir bahwa “…kalau memang jang mendjadi tudjuan utama memang untuk membubarkan atau melarang sesuatu partai, didalam hal sekarang ini antara lain MASJUMI, lebih lebih kalau Tindakan sematjam itu hendak didasarkan semata-mata atas dasar kekuasaan, maka dapat sadja ditjari alasannja.”

Sembilan hari kemudian, pada 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masyumi dan PSI. Selama pertemuan 10 menit tersebut, Soekarno didampingi para pejabat negara seperti Jaksa Agung, Kepala Polisi, Direktur Kabinet Presiden, Kepala Staf Komando perang Tertinggi dan lainnya.

Pihak Masyumi sendiri diwakili oleh Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution, sedangkan PSI di wakili Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A. Murad. Mereka diserahi setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab.


Beberapa pertanyaan yang termuat, pertama, menanyakan apakah Masyumi  menentang dasar dan tujuan negara?

Kedua, apakah Masyumi hendak mengubah dasar dan tujuan negara? Masyumi dengan tegas menyangkalnya. Masyumi menolak disebut bertentangan dengan azas dan tujuan negara, karena Tujuan Masyumi adalah “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.”

Tujuan tersebut menurut Masyumi sesuai dengan asas negara yaitu pembukaan UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Masyumi juga menolak disebut berusaha merombak azas dan tujuan negara karena hal tersebut bertentangan dengan azas Masyumi sesuai tafsir azas partai yang disahkan pada tahun 1952.

Ketiga, terkait keterlibatan dengan PRRI, Masyumi menjawab bahwa sejak Penpres tersebut mulai berlaku 31 Desember 1959, para pemimpin Masyumi yang terlibat dengan PRRI telah memisahkan diri atau keluar dari Masyumi. Tak seorang pun para pemimpin partai yang dipilih sejak kongres pada bulan April 1959 terlibat dengan PRRI.

Partai Masyumi juga pada 17 Februari 1958 telah mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan PRRI, Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusional. Semua jawaban ini diserahkan Masyumi seminggu kemudian pada 28 Juli 1960. Soekarno yang bertemu dengan wakil partai selama tujuh menit tersebut hanya mengatakan akan  mempelajari jawaban yang diberikan.

Putusan itu akhirnya tiba. Apapun jawaban Partai Masyumi tampaknya tak berpengaruh pada pemerintah. Meski Masyumi secara yuridis berdiri di atas landasan yang kokoh, namun Soekarno  tetap membubarkan partai Masyumi. Ini karena dianggap terlibat pemberontakan dengan mengeluarkan kepres nomor 200 pada tanggal 17 Agustus 1960.

Tanggal 17 Agustus 1960, pukul 5.20 pagi, sepucuk surat diterima Pimpinan Pusat Masyumi. Surat yang berasal dari Direktur Kabinet Presiden itu menyebutkan sebagai berikut:

“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan keputusan Presiden (No.200/1960) bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak, maka partai Masyumi akan diumumkan sebagai “Partai Terlarang.”

Pada 13 September 1960, Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution kemudian membubarkan Partai Masyumi. Empat hari sebelumnya, Masyumi diwakili oleh Moh. Roem, sebagai pengacara untuk menggugat Presiden di pengadilan karena telah melanggar UUD 1945 da oleh karena itu Penpres tersebut tidak sah. Tiap Tindakan yang didasarkan atas Penpres merupakan suatu Tindakan yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang juga bisa digolongkan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).

Namun gugatan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Dan memang dalam hal ini menjadi menarik mengetahui sebab Prawoto dan Yunan Nasution memilih membubarkan partai tersebut, alih-alih dibubarkan oleh pemerintah.

Jawaban dari soal itu kemudian menjadi jelas. Sikap atau pilihan membubarkan diri dilakukan karena menurut pemikiran para tokoh Masyumi, dengan membubarkan diri maka Partai Masyumi bukanlah partai terlarang dan dapat menghindarkan anggotanya dari kemungkinan berstatus anggota partai terlarang beserta bahayanya.

Tapi lagi-lagi, keputusan membubarkan diri dari pada dijadikan partai terlarang oleh rejim Soekarno tak berarti apa-apa, bahkan terasa naif. Sikap para tokoh Masyumi yang selalu bersandar pada hukum nyatanya tak sejalan dengan rezim Soekarno yang bertindak berdiri mengangkangi hukum.

Akibatnya, keadilan bukan lagi suatu hal yang dapat diharapkan bagi mereka. Keadilan kala itu bagi Masyumi adalah sebuah barang mewah.

Apalagi pada saat yang sama rezim Soekarno mulai menunjukkan praktik-praktik otoriternya. Kekuasaanya yang dijalankanya bukan saja merenggut hak berpolitik para oposisi, namun juga merenggut kebebasan orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah pada saat itu. (Sumber: RepublikaOnline)

Back to Top