KISAH IMAM JOBAN : “... mereka pasti langsung lihat indeks. mencari huruf J alias Jesus (Nabi Isa as, red),”

Artikel Terbaru Lainnya :

 KISAH IMAM JOBAN

-dari Majalah Ummi-

“Kalau saya memberikan Al-Qur'an kepada para napi, mereka pasti langsung lihat indeks. Lalu, mereka mencari huruf J alias Jesus (Nabi Isa as, red),” kata Imam Masjid Ar-Rahmah, Washington State (WS), Amerika Serikat (AS) Mohamad Awod Joban sembari terkekeh mengawali percakapan bersama Ummi.






Itu tadi sekelumit kisah Joban, pria yang juga berprofesi sebagai imam penjara (Muslim chaplain) di wilayah barat AS. Eits, jangan salah, meski namanya terdengar asing di telinga orang Indonesia, pria yang sudah 20 tahun bermukim di negeri Paman Sam itu asli keturunan Purwakarta, Jawa Barat. Seperti apa pengalamannya berdakwah di AS?

Di tengah sentimen warga dunia terhadap umat Muslim, ternyata perkembangan dakwah Islam di penjara AS terbilang tinggi. Percaya atau tidak, media AS menyatakan Islam adalah agama yang penyebarannya paling pesat di negaranya.

Menurut Joban, ada dua tempat penyebaran Islam tercepat di Amerika, yakni lingkungan penjara dan militer. Bahkan, para imam penjara di AS sering kewalahan memberikan pelayanan. Permintaan Al-Qur'an di balik jeruji pun amat laris. Para imam bahkan tak jarang menjawab, “Oh, sorry, I can't give you today, because I've run out of stock (Oh, maaf, saya tidak dapat memberikannya hari ini karena kehabisan stok).”

The Power of Qur'an

Terkadang, Joban mengaku tak perlu susah payah membuat orang lain jatuh cinta pada Islam. Sebab, hati mereka langsung tersentuh setelah membacanya.Subhanallah!

Apalagi bagi para narapidana. Meski geraknya terbatas, mereka justru berkesempatan memperdalam ilmu agama dan wawasan di dalam penjara. Belum lagi suasana dan lingkungan yang serba nyaman.

Pria kelahiran 2 Juni 1952 itu melukiskan penjara AS layaknya hotel atau asrama. Lengkap dengan dapur, gymnasium, air conditioner, sampai pemanas ruangan. “Bahkan, para napi bisa melanjutkan pendidikan S1 sampai S3 di dalam penjara,” ujarnya.

Nah, jika para napi itu mendapat Al-Qur'an, hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari indeks huruf J untuk kata Jesus. Mereka penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan Al-Qur'an tentang Tuhan mereka.

Aura yang tertangkap selanjutnya, ujar Joban, mereka akan terkejut. Sebab Al-Qur’an bukan saja memuji dan menjunjung tinggi Nabi Isa as, Tuhan mereka, tapi juga mengulas lengkap sejarah hidupnya.

Bayangkan saja, lanjut Joban, Al-Qur'an menyebut nama Nabi Isa as hampir 30 kali sedangkan Nabi Muhammad saw hanya lima kali. Bahkan, dalam Al-Qur'an terdapat surat Maryam, perempuan mulia di sisi Allah, ibu dari Nabi Isa as.

“Seorang napi berkesimpulan, kalau Muhammad saw yang mengarang kitab suci ini, pasti perempuan yang paling ia muliakan adalah ibunya, Aminah atau istrinya, Khadijah ra. Bukan Siti Maryam,” papar suami Moeti Amrina itu.

Jadi, tak ada lagi yang mereka ragukan terhadap Islam. Agama yang telah memberikan pencerahan dan solusi atas problem yang mereka hadapi.

Seperti Qur'an Berjalan

Selain narapidana, para militer AS pun ramai-ramai memeluk Islam. Tak sedikit tentara AS yang bertugas di negara Islam seperti Irak, Afghanistan sampai Somalia menjadi mualaf atau mengucapkan kalimat syahadat ketika kembali pulang ke negara mereka.

Pengakuan tentara Muslim AS kepada Joban, buktinya. Tentara yang bertugas di perbatasan Irak dan Kuwait itu mengaku awalnya jengkel dengan tingkah Baduin. Warga kampung setempat yang menjadi guidetentara AS itu selalu berhenti di tengah jalan tanpa izin tiap kali mendengar azan. Setelah itu, mereka melaksanakan shalat.

Ketika tentara itu melihat gerakan shalat, bersujud meletakkan dahi ke tanah, ia berpikir, “Ini pasti Tuhannya sangat besar.”

Setelah itu, tentara tadi mulai mempelajari Islam dan bersyahadat. “Gerakan shalat saja mampu menggetarkan hati orang lain,” kata Joban, takjub.

Menurut pria yang menghabiskan masa kecilnya di Pasar Rebo, Purwakarta ini, mudah mendeteksi mualaf di negara berikon Patung Liberty. “Mereka seperti Qur'anic walking (Qur'an berjalan, red). Islam tercermin pada diri dan tingkah lakunya,” ujar pria yang menamatkan studi masternya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir ini.

Bahkan, kita yang terlahir sebagai Muslim pun terkadang malu. Seperti cerita teman Joban, pelajar asal Saudi Arabia. Awalnya, temannya itu mengaku bukan Muslim yang baik dan jarang shalat. Dia justru mendapat hidayah dan merasakan nikmatnya Islam saat berada di AS.
“Masya Allah! Saya bertemu anak muda Amerika, shalatnya rajin, akhlaknya baik, sopan, ramah, dan suka membantu orang lain. Padahal, dia baru enam bulan memeluk Islam!” kata pria yang hobi sepak bola ini menirukan ucapan kawannya.

Berlabuh ke Negeri Paman Sam

Joban lebih banyak menghabiskan masa mudanya di Mesir untuk menyelesaikan S2. Selama menetap di sana, ia bekerja sebagai penyiar dan penerjemah di Radio Cairo. Makanya, tak terlintas di benaknya akan menetap di negeri Paman Sam untuk waktu yang sangat lama.

Semula Joban berangkat ke Amerika untuk meraih gelar Ph.D dalam bidang Islamic Study. Namun, ia menunda niatnya karena tersandung biaya. "Saya baru tahu kalau biaya hidup di Amerika jauh lebih besar jika kita tidak punya greencard (izin tinggal permanen, red)," katanya.

Joban tak berniat cepat pulang. Ia memilih menghabiskan visanya selama setahun di negara itu. Ternyata, nasib berkata lain, seorang kawan lama asal Kamboja memintanya menjadi imam dan pengajar di Masjid An-Nur, Olympia, WS.

Para jama'ah warga Kamboja yang dikenal dengan sebutan Muslim Campa ini menyambut baik kehadiran Joban. Ternyata, pria yang gemar membaca ini mampu mengembalikan keislaman mereka yang telah hilang. “Sebelumnya, mereka sudah lupa mengaji dan membaca ilmu agama Islam. Anak mereka pun dibesarkan dengan cara Amerika," ungkap Joban.

Kesempatan Joban memperpanjang 'kontrak' hidupnya di negara Barrack Obama semakin terbuka. Dua tahun setelah ia aktif menjadi imam Masjid An-Nur, Islamic Center setempat mengumumkan penjara di negara bagian tersebut membutuhkan tenaga chaplain. Apa itu? “Imam atau pembina rohani bagi para narapidana,” jawabnya.

Maka sejak 1992, Joban menjadi da'i yang aktif menebarkan pesona Islam di beberapa penjara di Washington. Selanjutnya, pria yang memiliki motto Life is Opportunity ini diangkat menjadi pegawai negeri.

Awalnya, Joban bertugas di penjara Monroe, WS. Untuk menuju lokasi, ia perlu menempuh perjalanan selama dua jam dari Olympia. Selanjutnya, ia bertugas sebagai pembina rohani di penjara McNeil Island Corrections Center (MICC) dekat Tacoma, WS. Lokasinya terpencil di pulau McNeil.

Menurut Joban, penjara ini terbilang mencekam dan suasananya mirip penjara Alcatraz di California yang kesohor itu. “Penghuninya kelas berat semua,” ujar pria yang pernah bertugas di penjara transit, Shelton Correction Center, ini dengan mata membelalak.

Terinspirasi Sang Ayah

Pendidikan yang ditanamkan orangtua Joban, Ustadz Awod Said Joban dan Fatimah Muhammad membekas hingga saat ini. Keduanya selalu memberi teladan para nabi dan nasihat sesuai Al-Qur'an dan hadits.

Untuk menerapkan disiplin kepada anak-anaknya, mereka memberi sanksi dan penghargaan. Cara tersebut ternyata efektif membentuk anak ketiga dari sembilan bersaudara ini menjadi pribadi tangguh dan kuat.

Sang ayah dikenal keras mendidik anak-anaknya. Joban mengaku ketika anak seusia mereka masih bersembunyi di balik selimut, ia bersama adik dan kakaknya sudah berada di masjid sebelum Subuh.

Selesai shalat Subuh, mereka belajar kitab Azubad (fiqih, red). Setelah Isya, orangtua bercerita tentang kisah sahabat, tabi'in dan orang shalih. Nah, Rabu waktunya belajar fiqih sementara tafsir Al-Qur’an tiap Jum'at. “Shalat lima waktu harus di masjid. Kalau ketinggalan shalat berjamaah akan dapat hukuman,” katanya sambil mengenang.

Ternyata didikan yang ia terima ini bersumber dari pengalaman sang ayah ketika belajar selama 12 tahun di Yaman. “Ayah belajar di Yaman sejak berusia tujuh tahun. Nah, beliau menjadi ahli fiqih dan tafsir di usia 19 tahun,” ungkap pria yang pernah bercita-cita menjadi pemain sepakbola nasional ini.
Ia mengaku kagum terhadap ketaatan ayahnya sebagai Muslim. Joban kecil seakan termotivasi melihat kebiasaan sang ayah tak pernah absen shalat tahajud. Hatinya trenyuh tiap kali menyaksikan ayahnya menangis saat membaca ayat tentang api neraka. “Beliau adalah suri teladan yang baik,” ujar pria yang menyelesaikan S1 di IAIN Jakarta itu.

Ratna Kartika/wawancara: Aini Firdaus.

Siapa hendak menyusul berdakwah di Negeri Trump? 😊

Back to Top