Perlukah Jokowi Khawatir Matahari Kembar' Jika Pemilu 2024 Digelar 15 Mei?

Artikel Terbaru Lainnya :

Perlukah Jokowi Khawatir Matahari Kembar' Jika Pemilu 2024 Digelar 15 Mei? 

KONTENISLAM.COM - Kekhawatiran akan matahari kembar dinilai menjadi alasan pemerintah tetap kekeh menyelenggarakan pemilu pada 15 Mei 2024. Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai wajar adanya matahari kembar atau dualisme kepemimpinan karena masa transisi yang begitu lama sejak terpilihnya presiden baru hingga pelantikan.

"Kita punya pengalaman di tahun 2014 dan di 2004 ketika terjadi pergantian presiden, itu relatif waktunya pendek. Jadi pilpres bulan Juli pelantikan Oktober, jadi 3 bulan. Kalau 2019 itu kan waktunya memang panjang, tapi kan Pak Jokowi menang lagi, jadi nggak ada kekhawatiran soal dualisme kepemimpinan," kata Aditya, kepada wartawan, Kamis (14/10/2021).

"Poinnya yang dikhawatirkan adalah masa transisi. Jadi masa transisi itu kan si presiden terpilih dan presiden definitif untuk bekerja mereka saling koordinasi. Nah transisi ini yang orang menganggap banyak problem," lanjutnya.

Aditya mengungkap hal yang menjadi masalah hingga munculnya kekhawatiran akan matahari kembar itu justru dibuat oleh mereka yang memiliki kepentingan. Aditya menilai masa transisi itu akan timbul urusan-urusan politik di dalam pemerintahan.

"Kenapa mereka khawatir, karena yang saya tahu di masa transisi itu lah terjadi transaksi antar pemerintah dan pemerintahan baru. Jadi ini urusannya adalah urusan politik bagaimana transfer antara kekuasaan, bahkan hal-hal yang terkait dengan kekuasaan. Di birokrasi mereka juga akan menjadi problem karena di masa itu ada dua pihak yang ngejar proyek ini proyek itu, tim ini tim itu, masuk semua, sudah mulai mengamankan. Itu yang perlu dikonfirmasi bener atau nggak," ujarnya.

Sementara saat ini Indonesia belum memiliki skenario yang tetap terkait masa transisi kepemimpinan. Menurutnya, wajar jika kekhawatiran itu muncul.

"Kita belum punya skenario yang ajeg (tetap) untuk masa transisi itu. Jadi memang orang kemudian berpikir bagaimana exercise-nya. Wajar saja kalau kekhawatiran itu muncul, karena skema itu kita belum punya patokan yang ajeg. Kalau 2019 kan presidennya sama jadi nggak ada kekhawatiran, kalau 2014 presiden berbeda tapi kurun waktunya pendek, jadi nggak terlalu banyak persoalan, nah ini kan panjang jadi gimana," ucapnya.

Meski begitu, Aditya menilai seharusnya Jokowi tidak ikut khawatir di masa transisi itu. Dia khawatir Jokowi akan legowo.

Namun tetap saja, menurutnya Jokowi, juga akan mengatur agenda setting. Demi melanjutkan program-programnya yang berkelanjutan, seperti salah satunya ibu kota negara baru.

"Kalau seorang Jokowi mestinya nggak level untuk bicara khawatir di masa transisi, ini kan udah periode keduanya, pasti dia juga akan legowo untuk meninggalkan itu semua. Yang harus kita pahami konteksnya adalah lingkaran dia, dan Pak Jokowi mungkin akan melakukan agenda setting karena di periode kepemimpinanya kalau bisa harus searah juga dengan kepentingan presiden baru," ujarnya.

"Contoh soal ibu kota baru itu kan satu isu yang menurut saya tentu harus dipikirkan banyak orang yang berkesinambungan jadi harus cocok dengan seseorang yang bisa menyesuaikan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru," imbuh Aditya.

Kekhawatiran Matahari Kembar

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mendukung usulan pemerintah terkait jadwal pemilu serentak 15 Mei 2024. Guspardi mengatakan pemerintah mengusulkan pemilu digelar pada 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik apabila pilpres digelar di awal tahun, yaitu 21 Februari 2024, sesuai usulan KPU.

"Banyak hal yang disampaikan pemerintah, pertama adalah persoalan kalau seandainya di tanggal 21 Februari dilakukan pileg dan pilpres, utamanya pilpres, itu kan pasti akan menimbulkan gejolak politik, tidak terjadinya harmonisasi terhadap pemerintahan pusat," kata Guspardi dalam diskusi ini.

Sebab, menurut Guspardi, jika pilpres dilaksanakan pada 21 Februari, hasil pilpresnya langsung diketahui masyarakat. Sementara itu, Presiden Jokowi masih menjabat hingga Oktober 2024, sedangkan apabila presiden terpilih tidak didukung oleh pemerintah, diperkirakan akan timbul kegaduhan.

"Karena apa? Karena kalaulah seandainya ketika itu pemilihan presiden tidak berlanjut pada tahap berikutnya, tentu pada saat itu sudah diketahui siapa yang akan menjadi calon presiden, kalaulah itu terjadi, bagaimanapun, kita tidak bisa menafikan tentu ada dua matahari ketika itu, ada yang namanya presiden incumbent, yang namanya Pak Jokowi, yang beliau sudah menyatakan tidak akan maju lagi," kata Guspardi.

"Kemudian ada lagi hasil dari pada Pilpres 21 Februari, apalagi kalau seandainya orang yang maju itu tidak didukung oleh pihak pemerintah, tentu akan menimbulkan dinamika kegaduhan dan sebagaimana. Ini adalah sesuatu yang harus dicatat-diketahui oleh masyarakat," ungkapnya.

Lebih lanjut Guspardi mengatakan selama ini pilpres dilaksanakan pada April. Tetapi, jika dilaksanakan pada Februari, ada rentang waktu yang panjang sehingga dinilai kurang elok. Selain itu, persoalan lain misalnya terkait masalah anggaran pemilu.

"Berkaitan dengan masalah finansial, masalah anggaran, di mana pada hari ini kita concern terhadap bagaimana melakukan pembenahan terhadap pandemi COVID-19 yang alhamdulillah pada saat ini sudah mulai membaik dan terhadap ekonomi kita yang sangat morat-marit, tentu kita berharap sebagaimana yang saya lansir selama ini, yang diajukan oleh KPU, anggarannya itu adalah Rp 87 triliun, 60 persen kegunaannya adalah untuk honor," ujarnya.[detik]



from Konten Islam https://ift.tt/2YJJbS1
via IFTTT
Back to Top